"Nyatanya, tidak semua tempat pulang itu layak disebut rumah,"
-Lissy Allea-
Ketika baru sampai di rumah, Lissy sudah disambut dengan tatapan kemarahan dari kedua orang tuanya.
"Dari mana aja kamu?! Jam segini baru pulang?!" cecar Ayah dengan nada bicaranya yang meninggi.
Lissy bergeming, takut untuk menjawab lagi. Tamparan tadi siang masih terasa sakitnya.
"Disuruh jaga rumah malah klayapan!" bentak Ibu.
"Kamu kalo gagal bikin bangga orang tua, jangan kayak gini! Kamu tuh, nggak kayak anaknya si Arif. Liat noh, si Nana! Pinter banget nyenengin hati bapak ibunya. Dia bisa noh lolos universitas ternama, kedokteran lagi!" kata Ibu, membandingkan Lissy dengan sepupunya sendiri.
"Masuk kamar! Punya anak ga berguna!" seru Ayah, menyuruh Lissy untuk segera pergi dari hadapannya. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Lissy, ia lebih memilih untuk menurut. Di dalam kamar, setelah menutup pintu. Lissy mendengar dengan jelas perkataan Ibu dan Ayahnya yang tiada henti membuat dirinya semakin patah.
"Capek-capek sekolahin ga ada hasilnya. Lagi pula, percuma si Lissy sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya juga di dapur nantinya. Udahlah, nggak usah kuliah aja si Lissy. Biar kerja aja. Uang kuliah Lissy alihkan aja buat si Robby sama Ferry. Bentar lagi masuk SMA mereka," ungkap Ibu, sengaja mengeraskan sedikit suaranya agar Lissy dapat mendengar dengan jelas.
"Iya, dia udah dewasa biar kerja aja bantu kita," jawab Ayah.
Air mata Lissy tak terbendung lagi ketika mendengar itu. Tangisnya masih sama, tanpa suara. Rasa sakit yang dirasakannya bertubi-tubi datang dari berbagai arah. Menyudutkannya hingga tidak memberi jeda untuk sekedar bernapas. Bahkan, ketika berada di rumah, Lissy masih merasakan kesepian dan ketidaknyamanan yang mana sangat menekan jiwanya. Ternyata, pulang tak membawanya pada tujuan yang hakiki.
"Nyatanya, tidak semua tempat pulang itu layak disebut rumah," gumam Lissy lirih.
•••
Dalam gelap kamar, Lissy duduk meringkuk di samping tempat tidurnya. Perkataan kedua orang tuanya masih terngiang di telinga Lissy dengan sangat jelas. Tangisnya masih belum mereda, meski jam dinding menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Tiada siapa pun yang menjadi sandarannya untuk menjadi penenangnya. Sendiri, merasakan hawa dingin malam hari yang semakin menusuk pori-pori.
Perut Lissy tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa. Tubuh Lissy limbung, tergeletak di lantai sembari mencengkeram erat perutnya yang teramat perih. Bahkan, untuk berteriak saja, Lissy merasa tak mampu. Mungkin, karena hari ini Lissy tak melahap makanan apa pun dan hanya meminum kopi saja. Ditambah beban pikiran yang berat, mungkin menjadi penyebab asam lambungnya kambuh.
"Semoga besok nggak parah, aamiin," ujar Lissy lirih berharap tubuhnya dapat diajak bekerja sama.
Ketika rasa sakit di perutnya sedikit berkurang, Lissy segera mengambil obat di nakas samping ranjangnya dan meminumnya. Namun, efek obat tidak bekerja secepat itu. Lissy masih merasakan ketidaknyamanan pada perutnya. Kepalanya yang pusing menambah rasa sakit yang tak berkesudahan. Tubuhnya kembali limbung, tetapi kali ini Lissy tak sadarkan diri.
•••
Alarm Lissy berbunyi nyaring. Namun, sama sekali tidak membuat Lissy terbangun juga. Hingga, gedoran pintu kamar Lissy yang akhirnya membuat Lissy begitu terkejut dan buru-buru bangun. Sesaat membuka pintu, guyuran air membasahi seluruh tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Breath [TERBIT]
Novela Juvenil[CERITA LENGKAP] Apa makna keberhasilan bagi setiap orang? Kesuksesan? Atau mungkin suatu tanda kemajuan dalam mencapai sesuatu dalam hidup? Dia adalah Lissy Allea, seorang perempuan tangguh yang hidup ditengah-tengah tanda tanya. Arah hidup yang sa...