Penderitaan dan rasa sakit yang seolah tak pernah berkesudahan. Silih berganti datang untuk menciptakan trauma yang baru,
-Lissy Allea-
Rumah ini seperti tempat mati. Sunyi, tiada interaksi layaknya sebuah keluarga normal yang hangat. Semua yang ada di sini sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tidak banyak yang bisa Lissy lakukan selain diam. Sesekali, mereka beradu mulut ketika ada sesuatu yang tidak benar terjadi. Seperti saat ini, Ayah dan Ibunya bertengkar hanya karena masalah uang bulanan yang terlambat diberikan. Semua barang-barang melayang. Pecahan benda tajam ada dimana-mana. Teriakan tak mau kalah di antara keduanya terus beradu hingga membuat telinga Lissy merasa tak nyaman. Bahkan, para tetangga semua keluar rumah dengan berbagai aktivitasnya hanya karena penasaran dengan suara-suara keras yang dihasilkan dari rumah Lissy.
"Tetangga pada ngintip tuh, nggak malu?" ujar Robby, adik kedua Lissy mencoba menengahi.
Ferry mengangguk tanda setuju. "Iya, liat aja sendiri! Tuh, rame di depan!"
"Udahlah, Rob, Fer, kalian masuk aja ke kamar! Nggak usah ikut campur!" sela Lissy.
"Halah, terusin aja, sampai hancur nih rumah lama-lama," kata Robby.
Plak!
"Masuk ke kamar! Punya anak ga ada adabnya sama orang tua!" bentak Ayah dengan emosinya yang meledak-ledak.
"Apa?! Mau pukul?! Sini! Tambah sebelah sini!" ucap Robby menantang.
Plak!
"Kurang ajar!" hardik Ayah.
"CUKUPPP!!" teriak Lissy, ia sudah tak tahan dengan semua keributan pagi ini.
"Robby! Ferry! Masuk! atau gue yang akan tendang kalian berdua masuk kamar dengan paksa!" sambung Lissy dengan emosinya yang tak lagi stabil.
Mendengar itu, Robby dan Ferry langsung masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Mereka cukup terkejut melihat kakak pertama perempuannya marah besar seperti tadi.
"Udah ya, berantemnya. Ibu, kebetulan Lissy baru gajian kemarin, ini semua uang Lissy buat Ibu," ucap Lissy, lalu memberikan amplop cokelat yang berisi beberapa lembar uang seratus ribuan pada ibunya.
"Nah, gini dong, harusnya kamu tuh peka jadi anak! Dari tadi kek!" kata Ibu.
"Makan tuh duit!" sindir Ayah, lalu pergi ke belakang.
"Heh! Lu belum kasih gue duit ya, jangan enak-enakan!" teriak Ibu, lalu menyusul ayah Lissy dan melanjutkan perdebatan di belakang sana.
Lissy terduduk lemas di kursi ruang tamu dengan kondisi kepala yang pening. Uang gajian yang baru diterimanya dari mengajar privat habis diberikan untuk Ibu, tetapi tidak kunjung hasilkan kedamaian. Rasanya energi Lissy telah habis lebih dahulu sebelum berangkat kerja ke Restoran. Untung saja, masih ada waktu satu jam. Lissy kembali ke kamarnya untuk menenangkan diri dengan mendengarkan musik bertema self-healing. Ini cukup membantunya untuk mengembalikan mood-nya yang rusak. Samar-samar Lissy masih mendengar perdebatan itu dari kamarnya, Lissy mencoba untuk tidak peduli.
•••
Pagi ini Lissy telah sampai di restoran dengan tepat waktu. Mood-nya juga sudah tertata dengan lumayan baik karena masalah tadi. Tidak terasa, jika sudah satu bulan, sejak Lissy menjalani masa training di Spicy Chicken tempatnya bekerja. Kinerja Lissy dinilai baik oleh supervisor, Pak Hendra. Namun, hal itu membuat Mitha tampak tak suka. Berbagai cara Mitha lakukan agar Lissy tidak dapat berkerja di Spicy Chicken, tetapi usahanya selalu gagal karena Lissy dapat mengatasinya dengan baik dan cekatan. Mitha tak pernah berhenti untuk membuat Lissy merasa tak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Breath [TERBIT]
Teen Fiction[CERITA LENGKAP] Apa makna keberhasilan bagi setiap orang? Kesuksesan? Atau mungkin suatu tanda kemajuan dalam mencapai sesuatu dalam hidup? Dia adalah Lissy Allea, seorang perempuan tangguh yang hidup ditengah-tengah tanda tanya. Arah hidup yang sa...