Part 14

14 3 0
                                    

10 menit, eh gak. Ini kayaknya udah 20 menit berlalu. Atau mungkin udah setengah jam kali ya? Gak tahu. Yang jelas waktu terasa lama banget disini, di ruang tamu rumah Tari ini. Karena dari tadi dia dan Wooseok cuma diam-diaman aja, gak ada yang memulai obrolan. Tari cuma bisa nunduk, gak berani natap Wooseok. Padahal andai Tari tahu kalau Wooseok natap dia terus dari tadi. Mana Ayah Tari segala pake pamit pergi keluar pula. Jadi mereka beneran hanya tinggal berdua di rumah ini.

"Teh nya... diminum."

Wooseok melirik cangkir teh yang ada di depannya. "Udah aku minum."

"Atau, kamu mau makan? Ayah aku masak untuk makan siang-"

"Kenapa Ayah kamu yang masak?"

"Hmmm... aku agak gak enak badan."

"Kenapa gak enak badan?"

"Ya... biasalah. Cuaca."

"Aku tadi ketemu Citra di kantor."

Tari nunduk lagi.

"Dia bilang kamu gak nginap sama dia tadi malam."

Tari masih diam.

"Berarti kamu bohong sama aku."

Mendengar ini, barulah Tari mengangkat kepalanya, dan menatap Wooseok. "Yang duluan bohong sama aku itu, kamu."

Giliran Wooseok yang menghindari tatapan mata Tari.

"Anggap lah kita beneran pasangan suami istri disini."

Wooseok menoleh lagi pada Tari, gak ngerti sama kalimat Tari yang barusan. Kenapa harus ada kata 'anggap lah' kalau kenyataannya mereka memang pasutri?

"Kamu diemin aku, dan aku gak tahu kenapa kamu diemin aku. Dan karena aku gak mau ambil pusing tentang itu, aku ngajak kamu jalan-jalan, bahkan bertiga sama Papa kamu juga. Karena apa? Karena aku gak mau kamu diemin aku. Aku mau hubungan aku sama kamu itu baik-baik aja. Sampai akhirnya, well, kita baikan. Dan di saat kita sudah lebih baik itu, muncul hal lainnya."

Wooseok diam aja, mendengarkan semua keluh kesah Tari dengan baik dan benar.

"Kenapa aku bilang 'anggap lah kita beneran pasangan suami istri', karena sebenernya aku gak ada hak untuk ngerasain semua itu."

"Kita memang suami istri, kita memang menikah, tapi alasannya gak sedalam itu. Dan aku gak tahu kenapa aku harus repot-repot berusaha untuk memperbaiki hubungan aku sama kamu, padahal aku tahu dasarnya gak ada."

Tari mencoba menatap Wooseok. "Kamu kesini, di jam kantor kayak gini, karena kamu udah denger semuanya dari Jinhyuk, kan?"

Wooseok gak merespon, dia memilih untuk menghindari tatapan Tari.

"Aku kayak gini juga karena aku udah denger semuanya dari Jinhyuk. Dan aku bingung kenapa aku harus kepikiran sampai segininya."

Tari kemudian menghela nafas. "Aku udah tanya Ayah aku tadi, tentang, is he okay if his child is a widow."

Mata Wooseok melebar, dia kaget banget. "Ngapain kamu nanya kayak gitu ke Ayah kamu?"

"Untuk jaga-jaga. Biar Ayah gak terlalu kaget nanti. Lagian yang kamu tunggu-tunggu udah datang, seharusnya aku sadar diri dan mundur duluan. Daripada dia dicap jadi pelakor, lebih baik aku yang mundur duluan," Tari berdiri, ingin masuk ke kamarnya. Tapi Wooseok dengan sigap menahan tangannya.

"I never had any plans to divorce you."

Tari menghela nafas sebelum berbalik. "Kenapa? Karena aku masih punya hutang sama kamu?"

"Aku gak ngomongin hutang-"

"Aku udah bilang juga sama Ayah aku, kalau hutang aku masih ada sisanya ke kamu, aku akan bayar sisanya pake uang."

LET ME INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang