gara gara ojol

151 18 0
                                    

Betul saja feeling Jennie, sikap Lisa semakin menjadi-jadi. Kata-kata pedas, ketus dan sarkas singgah di telinganya kala berbicara dengan Lisa. Di tambah dengan sikapnya yang dingin.

Padahal ini baru tiga hari semenjak kejadian di ruang IGD itu. Tapi bagi Jennie lima hari itu bagaikan lima ribu tahun, dan sangat berat ia rasakan. Apalagi Lisa menambah job desk untuk Jennie dan lembur di setiap harinya untuk berjaga bangsal.

Bahkan di hari minggu ini saja, ia harus tetap masuk. Beruntung hanya setengah hari. Jadi Jennie masih bisa refreshing di sisa harinya.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Jennie kembali pulang ke rumah, dengan ojek online yang sudah di pesannya.

"Kak Jennie Ruby..?" Ucap Bapak ojol terbata mengucap nama panjang Jennie, saat ia berhenti tepat di hadapan Jennie.

"Jennie Ruby jane, Pak". Ujar Jennie menyebutkan nama panjangnya. Bapak Ojol itu nyengir, dan memberikan helm kepada Jennie.

Jennie menerima helm yang diberikan Bapak Ojol, kemudian ia naik dibelakangnya.

"Habis jenguk, Kak?" Tanya Bapak Ojol, yang Jennie tau namanya itu mino, dari aplikasi.

Pak mino memulai obrolan saat motor sudah melaju.

"Bukan Pak. Lagi koas".

"Kakak jualan kaos di rumah sakit?".

Pertanyaan itu membuat Jennie mengerutkan keningnya.

'Kaos? Emang tadi gue jawab kaos apa koas sih?'Batin Jennie, malah lupa dengan apa yang diucapkannya.

"Baru denger saya, ada yang jualan kaos di rumah sakit? Oh, atau pesenan ya Kak?" Ujar Pak Mino heran, namun menjawab keheranannya sendiri. Si Bapak masih berpikiran kalau Jennie menjual kaos.

Memang sih, sangat mirip kata koas dan kaos, hanya urutan hurufnya yang berbeda, juga artinya.

Karena sudah capek dan pusing dengan hidupnya akhir-akhir ini, Jennie memilih untuk mengiyakan saja apa kata si Bapak.

Sepertinya jualan kaos memang lebih mudah, daripada menjalankan koas. Apalagi harus berhadapan dengan dokter buas.

Motor sudah berhenti tepat di depan gerbang rumah Jennie. Ia turun dan mengembalikan helm, Jennie tidak perlu membayar dengan uang tunai, karena ia sudah membayar dengan e-commerce yang otomatis ada di aplikasi.

"Terimakasih Pak".

"Sama-sama Kak".

"Eh Kak, tunggu" panggil Pak Mino, menghentikan langkah Jennie, lalu Jennie memutar badannya.

"Tenang Pak, saya akan kasih bintang lima kok" ujar Jennie langsung menjawab, sebelum Si Bapak mengatakan keperluannya. Karena memang sudah menjadi rahasia umum, para ojek online meminta bintang lima, setelah tugas mereka mengantarkan penumpang sampai di tujuan.

"Bukan itu Kak. Saya cuma mau nawarin kerja sama..."

"Kerja sama?!". Tanya Jennie menginterupsi kalimat yang belum diselesaikan oleh Pak Mino. Karena ia kaget, tiba-tiba Bapak Mino mengajaknya kerja sama.

Kerja sama apa? Jadi pengemudi ojek online? Mana boleh sama Papa. Yang ada Papanya justru akan dengan sombongnya mengatakan 'Ngapain kamu mau jadi supir ojek online? Kalo kamu mau beli perusahaannya pun, Papa sanggup jen, beliin buat kamu!'

"Iya Kak. Barangkali Kakak mau pesan kaos dari konveksi saya, bisa hubungi saya Kak..". Jennie masih loading.

"Ini kartu nama saya". Lanjut Pak Mino memberikan kartu nama yang ia ambil dari saku jaket hijaunya.

Jennie baru konek, ia ber-oh, mulutnya berbentuk bulat.

Sepertinya si Bapak benar-benar mengira, kalau Jennie menjual kaos di rumah sakit.

"Baik Pak. Terimakasih". Ujar Jennie, menerima kartu nama itu.

"Cahaya Abadi Konveksi" ucap Jennie, membaca nama konveksi yang tertera di kartu nama berukuran 9×5,5 cm itu.

"Iya. Cahaya Abadi itu nama anak saya, Kak. Saya jadiin nama konveksi biar jadi doa juga." Ujar Pak Mino menjelaskan.

"Gak nanya Bambang! Eh, namanya kan Mino bukan Bambang'Ucap Jennie dalam hati.

"Aamiin.. semoga konveksi Bapak bisa terus bercahaya dan abadi ya Pak". Ujar Jennie, bermulut manis. Beda di hati, beda di mulut.

"Aamiin.. Oya, Kakak bisa hubungi nomor di situ kalau mau pesan. Barang di jamin ori dan tidak mengecewakan. Minimal pemesanan satu lusin. Kalau lebih ada potongan harga". ujar Pak Mino mempromosikan. Jennie hanya mengangguk sambil tersenyum.

Setelah Bapak Mino pergi. Jennie menyimpan kartu nama itu di tasnya. Kemudian membuka gerbang rumah, lalu masuk.

"Ma, jennie mau jualan kaos ajalah. Dah capek nge-koas". Ucap Jennie saat datang menghampiri Mamanya yang sedang mengadoni brownies coklat kesukaannya di dapur.

"jen, kata Mama, kamu mau jualan kaos?". Tanya Tuan kim setelah menyelesaikan makannya, sedangkan Jennie masih makan, karena nasi dan lauknya belum habis.

Makan malam kali ini, di ruang makan ada Jennie dan kedua orang tuanya, sedangkan Yeji sedang ada proyek di Lombok selama seminggu, dan ini sudah hari ke tiga Yeji berada di sana.

"Iya kayaknya. Enakan jualan kaos aja deh Pa, dari pada nge-koas.". Ceplos Jennie. Kembali memasukan nasi ke mulutnya.

"Ya gak banting stir juga jennie. Tetep jadi Dokter. Nah, jualan kaos itu sebagai usaha sampingan aja." Ujar Tuan kim, sang Papa memberi saran.

Memang otak Papanya itu berisi bisnis, bisnis dan bisnis. Tak heran kalau sekarang ia sukses menjalankan beberapa bisnis, dari bisnis keluarga yang turun temurun, hingga bisnis yang di rintisnya sendiri. Hal itu menurun ke Yeji, yang juga sekarang sedang menjalankan proyek dari rintisan kecil-kecilan bersama teman-temannya.

"Duuuhh bisa stress aku Pa". Ujar jennie

"Terus mau jualan kaos aja nih? Katanya mau jadi Dokter biar bisa ngobatin Papa Mama kalau sakit..". Ujar Tuan kim, menyebutkan alasan yang pernah Jennie sampaikan waktu kecil mengenai cita-citanya untuk menjadi dokter.

Sedangkan Mama kim hanya menyimak obrolan suami dan anaknya itu, sambil makan.

"Entahlah Pa.Mumet aku".

"Lama-lama Papa telen kamu jen, terus Papa lepehin lagi, biar jadi makhluk baru!".

"Uhuk!" Jennie tersedak nasi yang sedang dikunyahnya mendengar ucapan sang Papa.

Mama kim membantu Jennie dengan menuangkan air putih ke gelas lalu memberikannya kepada Jennie. Jennie menerima gelas itu, dan minum air hingga tandas.

"Pa, bercandanya gak gitu, ah. Kasian jennie, keselek tuh jadinya". Tegur Mama kim.

"Ya maaf Yank. Lagian si jennienya ada-ada aja. Masa mau berhenti di tengah jalan begitu. Padahal tinggal sedikit lagi dia bakal legal jadi dokter". Ujar Tuan kim dengan kesal.

"Enggak Pa. jennie gak mau berhenti di tengah jalan. Ini jennie lagi mumet aja. Tenang Pa, jennie bakal beneran jadi dokter kok". Ujar Jennie sambil nyengir, ala iklan pasta gigi. Lebar, selebar jala buat nyari ikan.

Ia mencoba meredakan kekesalan Papa kepada dirinya. Bisa bahaya kalo Papa ngamuk. Lagipula mana mungkin Jennie menyerah saat ia telah berjuang mati-matian untuk lulus jadi mahasiswi kedokteran, kemudian tinggal melanjutkan koas, dan beberapa tahap lagi, untuk mencapai cita-citanya menjadi dokter.

Dokter (Jenlisa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang