Jennie membuka matanya perlahan, kilau lampu berwarna putih yang pertama kali netranya temukan. Kemudian ia berdesis pelan, merasakan sakit di kepalanya.
"Jen... Jennie..." Suara itu menciptakan senyuman di bibir Jennie. Suara yang selalu menenteramkan hati Jennie. Suara bidadari dunianya Jennie.
"Mama..". Panggil Jennie dengan lirih, kepalanya menoleh pelan kearah kanan, tempat Mamanya.
"Iya sayang. Mama disini". mengelus kepala Jennie dengan lembut.
Jennie mengangkat kepalanya ingin merubah posisinya menjadi duduk. Melihat pergerakan dari Jennie, mama membantu Jennie untuk duduk. Tangan kirinya menahan punggung Jennie, sedangkan tangan kanannya merubah posisi bantal agar menjadi sandaran untuk punggung putrinya itu.
"Mama kok bisa di sini sih?" Tanya Jennie saat posisinya sudah nyaman.
"Iya, tadi Mama kesini buat berobat. Gigi mama sakit. Gak sengaja ketemu sama joy. Mama khawatir banget waktu tau dari joy kamu pingsan karena menangani pasien, Jen.." ujarnya, sambil memperhatikan wajah putrinya itu, tangannya mengelus rambut Jennie yang terlihat masih acak-acakan, akibat jambakan dari Sabita, pasiennya.
Jennie meringis. Ia kembali teringat kejadian saat itu.
"Jen, lain kali harus lebih hati-hati ya saat menangani pasien. Harus ada yang bantu dan ngawasin juga. Liat tuh kepala kamu sampai luka, rambut kamu juga acak-acakan gini, sayang.." lanjutnya, ia merasa kasihan melihat Jennie menjadi korban dari pasiennya. Tangan halus itu masih mengelus rambut Jennie dengan lembut.
"Iya Ma.. Maaf, Jen gak nyangka juga bisa sampai kayak begini. Jen janji kedepannya akan lebih hati-hati". Ujar Jennie, mencoba untuk menghibur Sang Mama, agar tidak khawatir.
Mamanya mengangguk pelan.
"Masih sakit kepalanya, Jen?".
Jennie menggeleng.
"Udah gak terlalu sakit kok Ma.. udah mendingan..".
"Alhamdulillah.. Mama sisir rambutnya ya Jen".
"Mama bawa sisir?".
"Ada, punya joy mama pinjam".
Jennie mengangguk.
Jennie menggeser posisi duduknya, menjauhi sandaran bantal, dan mempersilahkan Mamanya untuk ikut duduk dibelakangnya.
Perlahan tangan halus itu mulai menyisir rambut Jennie yang masih acak-acakan dengan hati-hati, dari sebelah kanan.
"joy mana Ma?". Tanya Jennie melihat sekeliling ruangan
"Lagi kerja sayang".
Jennie mengangguk. Lalu kembali bertanya.
"Ooh.. Mama kesininya sama apa?".
"tadi dianter Papa, tapi cuma sampai lobi aja. Soalnya Papa ada urusan di kantor".
"Papa tau gak Ma, tentang ini?".
"Belum. Soalnya tadi Mama telepon, tapi gak diangkat teleponnya. Kayanya lagi meeting".
"Jangan kasih tau Papa ya, Ma". Pinta Jennie.
"Kenapa?".
"Yah, Mama kayak gak tau aja gimana reaksi Papa kalo anaknya luka atau kenapa-napa. Bukannya aku yang di marahin, tapi Rumah sakitnya yang bakal ditutup Papa". Cibir Jennie, sambil membayangkan reaksi posesif Papanya kalau tau Jennie sampai terluka karena pasiennya, apalagi sampai pingsan.
mamanya terkekeh mendengar cibiran Jennie.
Berdasarkan pengalaman, pernah waktu itu Jennie pulang kerumah sambil menangis. Kaki dan tangannya terluka akibat jatuh dari pohon mangga milik tetangga yang jaraknya dua puluh meter dari rumah. Bukannya dimarahin karena kenakalannya memanjat pohon yang menyebabkannya terjatuh, Papanya malah membeli pohon mangga itu, dan menyuruh orang untuk menebangnya saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter (Jenlisa)
Romance"YAAA BUKET GUEEE!" teriak Jennie kaget, melihat buket bunga yang akan dihadiahkan untuk Karina, terlepas meluncur dari pelukannya ke lantai, akibat benturan keras yang Jennie rasakan dari seorang wanita yang berjalan terburu-buru, menyenggol lengan...