[26-2]

27 2 0
                                    



Kuntala pun duduk bersila. Matanya memejam. Keningnya ditekan dengan telunjuk, hawa panas disalurkan ke sana. Lalu hawa panas juga disalurkan ke seluruh otak depan, belakang, leher, tulang belakang, dan tulang ekor. Setelah tersalur, Kuntala memegang dadanya menyilang. Merasakan denyut jantungnya. Lalu merasakan denyut jantung ayam dan telur di hadapannya. 

Kuntala pun memasang ilmu Kumara Sulaiman yang baru ia ciptakan. Caranya dengan menyebar cahaya pikirannya dan memasang jaring penangkap pikiran binatang. Lalu, setelah ada timbal balik dikirim ke pituitari di antara kedua alis mata. Cahaya pikiran itu pun diterjemahkan ke bahasanya. 

Kuntala melakukan penyatuan hati dan pikiran dengan hewan-hewan itu. Syarat daging bisa menjadi sangat berguna bagi tubuh dan memiliki khasiat penyembuhan adalah dengan meminta izin langsung pada hewan untuk ikhlas dan rida merelakan tubuhnya menjadi makanan manusia. 

"Sampurasun. Ki Cemani dan Ki Angsa. Perkenalkan, nama saya Kuntala. Saat ini sedang lemah dan memiliki tugas untuk membantu menyembuhkan orang." Begitu kira-kira bahasa terjemahan Kuntala saat berbicara dengan hewan-hewan itu. 

"Kami sudah paham tujuanmu, Nak. Kami para hewan, diciptakan Pencipta kami, untuk membantu pengabdian manusia. Jadi, silakan ambil nyawa kami dan gunakan daging dan seluruh bagian kami olehmu agar kami menjadi berguna."

"Terima kasih, kalian memang hewan yang luar biasa. Aku akan berusaha membalas jasa kalian. Kembalilah dengan damai." 

Kuntala takjub karena bisa memahami bahasa hewan itu, bahkan telur-telurnya pun ia mengerti. Luar biasa sekali ajian Kumara Sulaiman itu. 

Kuntala pun menyembelih ayam cemani. Saat dimasak dan dicicipi, daging-daging itu menguarkan aroma dan rasa yang sangat sedap. Paduan bumbu dengan peralatan dewa dan cara memasak yang menggunakan penyaluran energi, juga hewan yang dengan tulus mempersembahkan dagingnya, membuat hasil masakan lebih menarik dan bercita rasa tinggi. 

Kini, di atas nampan nyiru tersaji: satu bekakak ayam cemani, dan satu nampan berisi telur dadar. Sementara masakan lain berupa nasi tumpeng berbentuk punden berundak, tumisan rebung bambu, daun ubi tumbuk, pepes jamur, tahu tempe, dan sayur bening kelor, dimasak oleh Maryam berada di nampan lain. Satu nampan lagi berisi ikan asin, cobek ikan gurami, berbagai lalapan, sambal dan buah-buahan tersaji dengan rapi. Tidak ketinggalan, bubur merah putih dan kembang tujuh rupa yang disiapkan Amih sebagai simbol keberanian dan kesucian, kesetiaan pada negara, dan menyebar wewangian pada kehidupan di dunia ini. 

"Whooaa, ini ayamnya hitam? Telurnya juga segede nyiru. Tapi, kayanya menggiurkan, Caca mau, mau!" Caca menelan ludah melihat bekakak dan telur angsa. Namun saat akan mengambilnya, tangan Amih menepis tangannya dengan keras.

"Aduh!" teriaknya kesakitan. 

"Teu menang, pamali! Lain dahareun Caca ieu mah, sasajen jang karuhun. Jang ubar!" 

(Ga boleh, pamali. Bukan makanan Caca, tapi sesaji buat leluhur, buat obat) Caca pun hanya bisa cemberut. 

"Enggak adil, Amih, mah!" protesnya." Kenapa Kak Kun boleh, dan aku enggak?" Caca merajuk. 

Amih memelototi. Mata Caca berkaca-kaca hampir menangis. Namun, istri Kades buru-buru membujuknya. "Kalo yang ini, mau?" Maryam menyodorkan sepiring bekakak ayam kampung biasa dan dadar telur bebek. 

"Aha. Ini lebih menggiurkan dari pada si hideung!" Dengan cepat raut wajah anak gadis itu berubah ceria, tanpa basa-basi lagi, diserbunya makanan itu. Amih yang melihatnya, merasa Caca tidak sopan, kembali berniat untuk memarahinya. Namun, sang Kades sigap menggeleng-gelengkan kepala. 

Jangan sampai, perayaan syukuran kecil sekeluarga atas kesembuhan istrinya Maryam, Amih, juga sadarnya Kuntala, malam ini, terganggu oleh keributan kecil. Amih tak jadi memarahi Caca, paham akan kerlingan mata Pak Kades. 

"Berdoa dulu sebelum makan, Dek." Kuntala menegur adiknya. Caca berhenti dan menuruti kakak kesayangannya. Kiai Mukhlis memimpin doa, berterima kasih kepada Sang Pemilik Rezeki. 

"Silakan dinikmati, mari makan," ujar Kuntala.

Ia pun makan dengan lahap. Dalam sekejap, sepiring kecil nasi kuning, 1 bekakak ayam hitam, 1 nampan dadar telur angsa utuh, dan berbagai makanan lain habis. Entah ke mana masuknya karena perut Kuntala tidak membuncit. 

Seluruh orang pun terkesima. Mereka mengira Kuntala sedang kerasukan leluhur hingga bisa makan sebanyak itu. Selesai makan, kekuatan Kuntala perlahan terasa pulih. Ia pun melanjutkan lagi latihan untuk penyembuhannya, agar bisa secepatnya mengobati ibunya Pak Iskandar. 


***

Terima kasih sudah berkenan membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentar sebanyak-banyaknya biar semangat update-nya.

Suami Pilihan Ratu UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang