[27-2].

30 1 0
                                    

***


"Kamu mengenalnya?" 


Kuntala mengangguk. Lalu tersenyum dan meraih tangan keriput lunglai itu, lalu menciumnya. 

"Assalamualaikum, Ibu. Apa Ibu masih ingat dengan siswa yang Ibu beri beasiswa di SMA Purwasuka tahun lalu?" 


Sosok yang bersandar itu hanya terdiam seakan-akan menatap kosong. Namun, ada kilatan cahaya di matanya yang tertangkap Kuntala. Dia merespons meski sangat lemah. 


Syaraf di seluruh tubuhnya nyaris mati. Jelas ini bukan stroke. Ada aura gelap yang terasa dari dalam tubuhnya. Meskipun makhluk-makhluk itu telah melarikan diri. Namun, mereka telah bekerja sangat hebat hingga organ-organ Hajah Sofiyah mengalami kerusakan dan menyebabkan kelumpuhan.


"Apa penyakit Ibu saya, Nak?"


"Sepertinya ini teluh penyakit yang menyerang otak dan menyerang organ dalam. Karena terlalu lama dibiarkan, jadi menimbulkan penyakit medis. Saya akan bersihkan dulu anasirnya lalu menyembuhkan syaraf dan organnya."


Tanpa banyak bicara, Kuntala segera memasang ajian jaring petir, lalu menyebar ajian virus pemakan anasir. Setelah beres, ia membuatkan perisai untuk sang Hajah dan membersihkan makhluk-makhluk yang menghuni vila tanpa diundang. Pagar gaib pun di pasang di sekeliling vila. 


Kuntala meminta pelayan merebus air panas dan memberikan beberapa herbal daun sambung nyawa, jahe merah, herbal pelancar darah, pemulih luka, dan juga penawar racun. Kemudian Kuntala mengeluarkan minyak urut yang dibuatnya sendiri untuk mengurut kaki dan tangan Bu Hajah yang lemas tak bertenaga. Kuntala memberikan pijatan dan totok aura. 


"Pak Is, bisa tolong periksa sudah sampai mana ramuannya digodok?"


"Baik!" Dengan sigap seorang Kapolsek yang biasanya memerintah anak buah, kini berlari diperintah bocah berusia delapan belas tahun. Saat itulah Kuntala mengeluarkan ramuan cairan biru yang didapatkan dari penukaran koin bunga. Lalu meminumkannya sekaligus pada Hajah Sofiyah. Setelah minum, hawa panas menyebar dari tubuh perempuan tua itu. Kuntala membantu menyebarkan ke seluruh tubuh hingga merata. Saat Pak Iskandar datang bersama pelayan dan suster, jari Hajah Sofiyah bergerak-gerak dan matanya merespons sekeliling. Ia menatap Kuntala dan Iskandar, anaknya, dengan tatapan haru dan penuh terima kasih. 


"Mama sudah ingat Is?" 

Tanpa malu-malu, Pak Iskandar yang biasanya terlihat sangar itu bersimpuh memeluk dan menciumi ibunya. Perempuan tua itu meneteskan air mata, dan menggenggam jemari putranya. 


"Pak, sepertinya Bu Hajah harus istirahat dulu. Besok pagi, barulah dicek lagi kondisinya. Tolong nanti, kalau sudah dingin ramuannya, suapi beliau dengan sendok ramuannya sampai habis. Satu gelas kecil setiap hari. Jangan lupa diurut sekali sehari dengan minyak ini." 

Kuntala menyodorkan minyak urut buatannya. 


"Baik, Kun. Terima kasih sudah menyembuhkan ibuku. Kamu benar-benar luar biasa." Pak Iskandar menepuk-nepuk pundak Kuntala. 


"Sudah kewajiban saya. Hanya kebetulan saja, saya hanya perantara. Sang Maha Penyembuh yang menyembuhkannya."


Pak Iskandar mengangguk-angguk. 


"Sela, dan Bi Enung. Terima kasih sudah merawat Ibu. Tolong jaga danaa rawat sesuai instruksi Nak Kuntala." 


"Baik, Pak!" 


"Mangga, Juragan Agung." Bibi Enung pun membungkuk sopan. 


Kuntala beristirahat di dalam kamar super mewah yang disediakan. Di sana, ia bergegas untuk berlatih. 

"Sudah saatnya berlatih di Alam Gantung!"


****

Terima kasih sudah berkenan membaca dan meninggalkan jejak. Jangan lupa vote dan komentar biar semangat update-nya!

***

Suami Pilihan Ratu UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang