[9]. Kehidupan Kedua

728 26 0
                                    

Bada Isya di rumah panggung mungil keluarga Kuntala, dipenuhi beberapa orang tetangga yang berniat takziah dan mengadakan tahlilan yang diprakarsai oleh Ustaz Fajar dan Nurdin--guru ngaji dan amil desa--di kampung mereka.


"Kuntala, Cucuku. Amih masih teu percaya, kamu pergi begitu saja. Amih yakin, kamu pasti akan kembali. Apa kamu tak kasian melihat Amih dan Caca hanya berdua saja?"


Yayah, tetangga--yang baru datang dari kota menjemput putrinya--bersimpati, dan merengkuh tubuh rentanya. "Amih, Entos. Ikhlaskeun, almarhum teh. Biar tenang di alam sana."


"Ulah ngomong kitu! Aing mah keukeuh, Kun masih hirup! Sok, tingalikeun! Bakal kabuktian kereteg hate nu jadi kolot mah!" (Jangan ngomong begitu! Saya tetap teguh, Kun masih hidup! Lihat, bakal terbukti firasat yang jadi orang tua mah!)


Aini, istri Ustaz Ma'ruf, menyentuh pinggang tetangganya. Memberi isyarat dengan mata. Tetangga itu pun paham, dengan segera bergeser. Aini selama ini melarang siapa pun mengungkit kata-kata kematian pada Amih, sosok sepuh di desanya. Bukan salahnya, karena tetangga itu baru pulang dari kota, tidak mengetahui keadaan Amih selama ini.


"Amih, kita berdoa saja untuk keselamatan dan segera kembalikan Kuntala dalam keadaan terbaik."


Amih mengangguk. Mereka mulai membaca doa-doa tawasulan dan dilanjutkan dengan pembacaan yasin. Terakhir doa Sapu Jagat. Saat doa sapu jagat pun mulai dilafalkan, tepat di saat doa berakhir, sesosok bayangan tubuh tinggi besar, menjulang di depan pintu rumah panggung memberi salam.


"Ha-hantuuu!" seorang anak duduk di dekat pintu, pertama kali melihat kedatangan Kuntala, menunjuk-nunjuk dengan wajah ketakutan.


"Hantu apa? Sia teh kasurupan, Jang? Jangan sembarangan bicara!" hardik Amil, karena acara doa terganggu anak kecil. ( Maneh teh kesurupan, Nak?)


"I-Ituuu!"


Amil menoleh dan tampaklah sesosok yang sangat ia kenali.


"Ha, Juriiig! jurignana si Kuntala!" Amil yang berteriak biasanya galak itu pingsan.


Melihat kejadian ini, Amih kesal karena para pelayat malah mengacaukan gelaran doa untuk anaknya dengan menuduh ada hantu.


"Hantu! Hantu! Tidak ada hantu di sini, Kuntala cucuku belum mati, Ma--" tangannya mencengkram pangsi yang dikenakan Amil.


"Amiiih, ini Kuntala sudah pulang!"


Amih tertegun dan menoleh seketika. Suara yang sangat dikenalnya, suara yang begitu dirindukannya dan telah ditangisi bermalam-malam, suara yang seperti cucunya. Amih sudah mulai rabun, penerangan yang mereka miliki pun hanya lampu cempor, tak mampu melihat dengan jelas.

Suami Pilihan Ratu UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang