27. Jangan Tolak

22 5 1
                                    

'Bagaimana kalau kita hanya punya satu sama lain? Biarkan aku turut merasakan luka yang sama, kita obati sama-sama.'

Hidupkan Hidupmu

~Thierogiara

***

"Kalau ada waktu, nanti gue luangkan waktu. Kalau ke rumah sakit gue temenin," jelas Ayana, dia harus benar-benar memastikan bagaimana keadaannya, apa yang terjadi pada Hanna juga.

Orang tua mereka sudah lepas tangan, tidak mau tahu urusan Jarvis, sementara Jarvis dan Hanna adalah dua orang yang sebenarnya butuh sekali dukungan moral dan materil. Ayana tidak pernah tahu apa yang akan ada di masa depannya nanti, tidak ada salahnya dia berbuat baik pada abangnya sendiri kan?

Belum tentu nanti hidupnya baik-baik saja dan pasti ada waktu dia membutuhkan Jarvis untuk menolong hidupnya. Ayana hanya ingin memanusiakan manusia.

Hanna menatap Ayana dan menghapus air matanya sendiri.

"Jangan nangislah, lo lagi hamil kalau sedih-sedih bakal pengaruh ke anaknya," ujar Ayana, padahal dia sendiri juga sulit sekali menahan air matanya dan air matanya sudah meluruh begitu saja.

Hanna menarik napasnya. "Aku sedih aja, akhirnya perjuangan kak Jarvis selama ini bener-bener bawa kamu ke sini dan bersedia bantuin kita," jelas Hanna, karena Jarvis benar-benar sudah melakukan semuanya dengan sepenuh hati, saat apa-apa yang Jarvis lakukan menemui titik terang, itu benar-benar sesuatu yang tidak pernah Hanna sangka-sangka.

Ayana mendekat dan memeluk tubuh Hanna.

"Orang tua gue udah nggak mau tau soal kalian, tapi gue peduli. Apa pun itu minta tolong sama gue," ujar Ayana, mulai sekarang dia tidak akan keberatan.

Hanna mengangguk. "Tapi, aku nggak pernah tau jadi apa aku kalau sampai nggak ketemu kamu dan kak Jarvis," jelas Hanna, mungkin dia sudah menjadi sampah? Manusia yang mati sia-sia tanpa meninggalkan jejak apa pun.

Mungkin sampai akhir hayatnya Hanna hanya akan menjadi manusia yang kesepian, seandainya dia tidak bertemu Jarvis dan ditolong sampai segininya.

Ayana mengelus kedua bahu Hanna. "Udah tenang, kita cari solusinya sama-sama nanti," ujar Ayana.

"Mungkin nanti anak aku lahir dengan HIV, bantuin dia untuk hidup ya Na, karena aku nggak tau umurku akan panjang atau nggak," jelas Hanna, akan sangat menyedihkan kalau sampai anaknya tidak diterima.

"Ngomong apa sih, lo pasti sehat dan bisa nemenin anak lo tumbuh sampe gede," ujar Ayana, dalam situasi orang yang sedang sakit, maka orang-orang di sekitar sudah seharusnya memberikan afirmasi positif, kalimat-kalimat positif yang akan membawa dampak positif pula.

Hanna hanya tersenyum, karena tidak ada kepastian soal itu dan Hanna sedang tidak ingin berharap lebih atas apa pun.

***

Kemudian Jarvis baru sampai rumah, dia tersenyum menatap hasil USG anaknya tadi pagi. Jarvis kemudian menggantung foto tersebut agar menjadi kenang-kenangan, dia akan menyimpan semua hasil pemeriksaan anaknya dari mulai saat Hanna ketahuan hamil sampai nanti lahir.

Kalau bisa Jarvis tidak ingin melewatkan perkembangan anaknya sedikit pun.

Jarvis menatap kotak-kotak susu ibu hamil yang ada di lemari dapur, dia lantas mencari Hanna.

"Han, kamu beli susu?" tanya Jarvis, Hanna tidak ada minta uang darinya, Hanna uang dari mana coba? Jangan sampai istrinya itu aneh-aneh, apalagi sampai mengutang.

"Nggak kok Kak, itu dari Ayana. Dia ke sini tadi, dia juga beliin vitamin buat aku dan buat kamu," jelas Hanna, Hanna akan jujur soal Ayana pada Jarvis, Jarvis harus tahu kalau adiknya itu masih punya sisi kemanusiaan yang bersedia menolong mereka.

Jarvis diam.

"Katanya kalau ada apa-apa hubungi dia aja. Di pemeriksaan kehamilan selanjutnya juga Ayana mau ikut, mau tau keadaan aku," jelas Hanna.

Jarvis terdiam, tapi kenapa? Kenapa bisa berubah secepat itu? Sebelumnya Ayana sama saja dengan kedua orang tua Jarvis yang sudah tidak ingin tahu urusan Jarvis bahkan membuang Jarvis dari rumah.

"Serius?" tanya Jarvis agak sangsi, soalnya ya Jarvis tahu sendiri bagaimana keluarganya kalau sudah marah. Ayana pasti tidak seberani itu untuk melawan orang tua mereka.

"Serius kak, aku juga kaget, tapi nanti kamu hubungin aja dia langsung, tanya langsung," ujar Hanna, sama seperti Jarvis Hanna juga sebenarnya kaget.

Jarvis terdiam sejenak.

"Kayaknya Ayana nggak tega sama kita," ujar Hanna.

Jarvis kenal sih adiknya itu, mereka memang sangat dekat dari dulu, sangat tidak mungkin kalau Ayana tega dengan Jarvis.

Jarvis kemudian mengangguk. "Ya udah kalau gitu, nanti aku bicara sama dia," ujar Jarvis, dia mengelus puncak kepala Hanna. "Aku mandi dulu," pamit Jarvis yang kemudian berjalan menuju kamar mandi.

***

"Nanti mama papa marah sama lo, terus lo diusir juga dari rumah, nggak usah gini lah," ujar Jarvis, dia menelepon adiknya sendiri.

"Nggak kok, mama sama papa nggak tau," jelas Ayana.

"Sekarang nggak tau, besok? Lusa? Atau kapan pun waktu yang nggak lo prediksi, gimana?" tanya Jarvis, dia hanya mau Ayana sadar dengan apa yang dia lakukan.

"Gue main aman, tenang aja," ujar Ayana masih dengan santainya. "Lo sama Hanna nggak bisa hadapi semuanya cuma berdua, biarin gue bantu, biar gue nggak terlalu merasa bersalah," jelas Ayana, dia hanya ingin menghentikan perasaan bersalah yang dia rasakan.

Jarvis menghela napasnya. "Cukup gue aja," kata Jarvis hampir frustrasi.

"Terus, gue harus terus-terusan lihat lo menderita? Suatu saat gue pasti butuh bantuan lo, sekarang biarin gue dengan tugas gue."

***

Sedikit lagi ya hehe




Hidupkan HidupmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang