Jangan takut karena kamu berjalan dengan lambat, tetapi takutlah jika kamu hanya bisa berdiam diri. Itu kata Gilang Guntur Samudera.
Gilang memang bukan termasuk orang yang gampang berinteraksi dengan orang lain, tapi Ia tak akan mudah membiarkan dirinya tertinggal jauh dari teman-temannya. Tak apa jika dia tidak mampu berlari kencang, yang penting Ia dapat menjaga kecepatannya agar tetap konsisten dan tidak tertinggal dari kawanannya.
Jika kamu berlari terlalu cepat, suatu saat kamu akan kelelahan dan rasa lelah itu juga akan datang dengan cepat.
Tapi jika terlalu lambat, bisa dipastikan bahwa kamu juga akan lelah mengambil langkah tiga kali lebih banyak untuk dapat mengejar ketertinggalan.
Jadi apa jawabannya?
Konsisten, bersabar dan berjalan dengan kecepatan normal sambil mempelajari langkah dari banyak orang. Karena dengan begitu, lambat laun kamu akan menjadi orang yang disegani karena tak terkalahkan.
"Gilang, Papa rasa kita harus berbicara," Gilang menoleh kebelakang mendapati ayahnya tengah duduk di sofa ruang keluarga. Gilang baru saja mengambil minum sehabis baru saja makan malam, dia tak menjawab apa-apa dan bergerak mengambil duduk di hadapan kepala keluarga.
Papanya Gilang menaikkan kacamatanya, raut lelah tergambar di mukanya. Walau begitu, tampangnya terlihat serius. Gilang tau, pasti papanya akan membicarakan persoalan nilai-nilai tugas dan ulangannya di sekolah.
"Gilang, Papa pikir Papa sudah ngelakuin keinginan kamu saat baru masuk SMA. Mengurangi les belajar menjadi di malam hari saja dan memberi kamu kesempatan bersantai di malam Minggu," ujarnya. Gilang mengangguk, "memang sudah," katanya.
"Kamu bilang saat itu kalau kamu bisa mempertahankan nilai ujianmu."
"Saya memang bilang begitu."
"Lantas mengapa nilai ujian semester lalu saat kamu di kelas 10 malah turun semua? Dan kenapa justru kamu tidak masuk ke dalam peringkat tiga besar di kelasmu? Bukannya kamu sudah berjanji untuk mempertahankannya?" Papanya Gilang berbicara pelan, terdengar seperti sabar. Tapi bagi Gilang itu berarti papanya sedang berada di level teratas amarahnya.
"Kala itu Gilang sudah berusaha sesuai kemampuan Gilang sendiri, Pa. Tapi ternyata memang Gilang masih belum bisa mengejar nilai sempurna saat itu. Lagipula, bukankah Gilang masih masuk ke peringkat empat besar?"
Papa menegakkan duduknya, kali ini tampangnya semakin berkerut. Gilang merasa kali ini dia akan dibentak. Sekali dua kali Ia dikerasi memang, tapi Gilang tetap sayang padanya. Tak pernah sekalipun dibencinya papanya itu. Semua keinginan papanya dituruti dengan baik.
"Kamu pikir dengan peringkat empat kamu bisa masuk ke universitas favorit? Gilang, semua yang Papa minta kamu lakukan itu untuk kebaikan kamu sendiri. Papa bukannya main-main ketika nyuruh kamu untuk serius belajar! Sudah bagus Papa membiarkan hobi nyelenehmu foto-foto benda-benda nggak jelas, kamu malah menurunkan ekspetasi Papa. Gimana jadinya masa depan kamu, Gilang?!"
Gilang terdiam. Air mukanya datar saja.
Dia bosan dimarahi sebenarnya, tapi mau apa? Orang seperfeksionis papa itu maunya banyak. Ngga belajar doang. Disuru banyakin olim, disuru keluar dari klub fotografi sekolah, disuru les setiap hari, dan lain-lain. Apa kabar Mas Setyo, abangnya Gilang yang 'sempurna' di mata ayahnya karena sudah bisa memegang perusahaan di usia 25 tahun? Mas Setyo pasti telah menempuh kehidupan yang berat menuruti segala keinginan papanya yang ribet itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
MONOKROM (BL INDO) (ONGOING)
RomanceTerima kasih, karena telah memberi banyak warna di hidupku. Salam dari manusia batu, Gilang Guntur Samudera. Written by Verayo-07 and MYA57100