-Cinta tumbuh karena terbiasa-
Enjoyy!
Semburat oranye kemerah-merahan terlihat mempesona di atas langit sana, membuat siapapun yang melihatnya akan terlena. Kontras sekali dengan surai merah kebanggaannya.
Gilang tak henti-henti menatap lelaki yang kini tengah duduk bersamanya. Rasanya baru kemarin melihatnya di sekolah, dan baru semalam dilihatnya di dalam potret-potret 'curian'. Kini tak ada kata yang sanggup mengungkapkan betapa besar rasa senang dan rasa syukurnya.
Berbeda dengannya, orang yang dilihat justru hanya diam memandang orang-orang yang berlalu lalang di depannya dengan raut muka letih. Entah letih karena kejar-kejaran tadi ataupun karena dilihatin terus sama Gilang.
"Maaf." Gilang menaikkan alisnya yang sebelah.
"Kenapa?"
"Kan kamu bilang jangan dateng."
"Terus?"
Si surai merah berbalik menghadap padanya dengan pandangan takut-takut, "kamu ngga marah?"
Gilang tersenyum kecil, namun sangat tulus.
"Bingung. Aku lagi seneng," Gilang meraih tangan Cakra dan menggenggamnya dengan hangat.
"Berarti tadi kamu marah?"
"Ngga."
"Yakin?"
"Ngga tau."
Tatapan takut itu langsung berubah jadi sebuah tatapan jengkel. Males bat kalau sama orang yang irit kata kek gini. Cakra jadi mikir-mikir, kok bisa dia jatuh hati sama yang modelannya kayak gini?
Capek juga hari ini, pikir Cakra. Rasanya letih sekali.
Cakra menjatuhkan kepalanya tepat di pundak Gilang. Sebenarnya tidak sampai ke pundaknya sih. Wong Gilangnya lebih tinggi gitu. Cakra cuma bisa nyender ke ujung lengan Gilang. Tangan Gilang yang itu juga sedang menggenggam tangan Cakra. Posisinya memang terasa ganjil, tapi lama-lama nyaman juga.
"Makasi karena sudah mau dateng."
Cakra meliriknya dari sudut ekor mata dan tersenyum.
"Kamu yakin mau nganterin?" Gilang balas mengangguk pelan. Ntah kenapa rasanya si Gilang ini tiba-tiba jadi ganteng banget sekarang dengan helm itu.
Jadi begini, Gilang kepingin nganterin Cakra balik ke stasiun. Tapi yaa, mana mungkin Gilang bawa motor supra kesayangannya itu ke sini. Dia pun inisiatif minjem kendaraan punya temennya yang dari perguruan lain yang tinggal di kota ini. Dan orang yang dipinjemi itu ternyata adalah anak 'bikers'.
Cakra sempat terpukau dengan motor itu awalnya. Motor gede serba hitam dengan sedikit polesan warna merah yang menyala. Belum knalpotnya broo. Aduhh, pakai nyala segala lampunya.
Aihhh.
Motor ninja menn. Pasti kebayanglah gedenya kek mana. Itu tuh, yang disebut impian setiap laki-laki. Tambah lagi helmnya yang gede dan serasi dengan warna motor itu. Siapa yang ngga ngangak?
Cakra lagi-lagi kepikiran, seandainya Gilang sedikit berambisi lagi hidupnya...gimana yaa rupanya? Pasti Cakra udah dibonceng kesana kemari pakai motor gede kayak gini.
Huss, ngga boleh gitu Cakra Adiwangsa. Kamu bukan cowok matre.
Tapi yah, semua hal tak ada yang sempurna.
Cakra justru ngga nyaman naik motor beginian. Duduknya lebih tinggi ketimbang Gilang yang harus ngerendahin badannya buat megang stang. Selain takut jatuh keterpa angin, Cakra jadi ngga bisa meluk perutnya Gilang dengan nyaman kek biasa pakai motor supra.
Belum lagi helm yang dipakai Gilang itu gede sekali. Sebelumnya Gilang emang udah budeg, sekarang tambah budeg pakai helm tebal. Alhasil Cakra hanya diam saja di perjalanan karena sekalipun dia berbicara si Gilang udah pasti ngga dengar.
Udara sore menjelang malam udara terasa semakin menusuk. Bahkan jikalau sudah berjaket tebal, rasa-rasanya dingin mampu menembus semua benteng yang berdiri mengangkang. Dan itulah yang dirasakan Cakra tepat saat ini juga.
Cakra sudah mengenakan jaket berlapis dua tetap saja kedinginan. Apa kabar si Gilang yang cuma pake kaos perguruannya? Tolol sih kalau kata Cakra. Tau dingin, malah jaketnya dikasi ke dia.
Malam yang sibuk.
Sekujur jalan besar ini penuh dengan beragam kendaraan. Belum lagi di tepi-tepi trotoar jalan yang penuh dengan pedagang kaki lima dan para pelanggannya. Tak hanya itu, kafe-kafe dan berbagai resto dengan menu andalannya seakan tak mau ikut ketinggalan. Bisa dilihat di halaman-halaman depannya penuh dengan motor dan mobil pribadi yang terparkir rapi. Lampu-lampu jalan seperti nyala bintang yang berkelap-kelip di langit seiring perjalanan. Orang-orang dengan berbagai kesibukannya terus berlalu. Mereka yang telah selesai bekerja tengah dinanti-nanti oleh orang-orang tercinta.
Cakra memeluk, semakin memeluk erat perut Gilang. Bukan soal kedinginan lagi, tapi ini soal hati Cakra yang berharap agar saat-saat seperti terus berjalan selamanya. Dia ingin terus bersama Gilang bahkan hingga akhir hayatnya. Dan anehnya, rasa-rasanya Gilang pun seakan memiliki perasaan yang sama dengannya.
Cakra itu bukan orang yang lengah. Dia peka terhadap hal-hal kecil, berbeda dengan sang doi.
Siapa bilang Cakra tak sadar dengan segala sentuhan Gilang untuknya?
Yakali banget ngga ngeh gitu kan.
Tapi yaa entahlah, mungkin karena sering menerima physical touch dari Gilang membuatnya jadi terbiasa. Atau bahkan lupa diri?
Debaran-debaran tak tentu yang dahulu membuatnya sering gagal fokus itu sudah berubah menjadi debaran hangat yang menenangkan, dan membawa kenyamanan.
Tbc.^^
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOKROM (BL INDO) (ONGOING)
RomanceTerima kasih, karena telah memberi banyak warna di hidupku. Salam dari manusia batu, Gilang Guntur Samudera. Written by Verayo-07 and MYA57100