Chapter 9.

9 2 0
                                    



Berbeda dengan saat di hari-hari lainnya, kali ini langit di siang hari diwarnai dengan warna keabu-abuan yang khas. Pertanda bahwa aroma tanah akan segera bercampur dengan aroma air yang jatuh dari angkasa. Seakan menyeimbangi suasana hati remaja itu, sekumpulan awan tampak semakin menghitam di atas sana. Dia masih berharap agar pemuda itu datang dan membuat hatinya berseri-seri kembali.

Keadaan di sekelilingnya seakan-akan tak berwarna. Hanya abu-abu, seakan tak ada jiwa yang bersemayam untuk menumbuhkan gejolak kehidupan yang nyata.

Ia kembali merebahkan sebagian tubuh bagian atasnya di atas meja yang dibantali dengan tas ranselnya. Sesuatu berkilat-kilat menghalangi pandangannya ke arah jendela kelas. Itu adalah sebuah gantungan kunci yang dipasang pada tasnya itu.

Dirabanya perlahan benda itu dengan jari-jemari kasarnya. Mengerikan memang. Siapa yang tidak akan bergidik ngeri ketika sepotong telinga manusia berada di hadapan mata?

Tapi itu dulu. Sekarang benda itu malah menjadi sesuatu yang spesial baginya. Seperti pengingat untuknya akan suatu hal yang penting.

Ia pun menutup matanya perlahan, menanti turunnya rintik hujan, yang mungkin akan semakin menderas saat pulang nanti. Dan kemudian menggenangi jalan-jalan.


Perlahan sesuatu yang lembut dirasanya menyentuh surai hitam kecokelatan di atas kepala. Perlahan menyugar belahannya satu-persatu.


Ia pun tersenyum di balik tidurnya.


Dia tahu.


"Gilang," ujarnya dengan lembut. Hee.., siapa yang kemarin malam bilang tidak bisa masuk sekolah?

Yang dipanggil namanya pun bangkit perlahan dari rebahnya, digenggamnya tangan yang tadi bermain-main dengan rambutnya, "Kamu bohong yaa." Pemuda yang di hadapannya itupun tertawa pelan dengan anggun.

"Haha, ngga tuh. Aku ngga merasa ehehe."

Dan seketika itu rasanya hanya dirinya saja yang berwarna. Diusaknya rambut ikal kemerah-merahan itu tanpa menyadari apa yang kemudian timbul di jantung pemiliknya.

"Gilang, ayo jalan-jalan."





Gilang dan Cakra akhirnya turun tangga dan jalan-jalan di lapangan berdua.

Ckrik! Dan satu foto lagi berhasil dijepret oleh kamera mini itu.

Tersimpanlah potret sosok manis berambut merah itu dengan latar langit mendung sebelum hujan singgah padanya.

"Ihhh, ngga ada puasnya kamu motoin orang yaa! Sini!" Dengan cepat dia bergerak berusaha menyambar benda yang ada di genggaman pujaan hatinya. Namun tak kalah cepat, Gilang mengangkat kedua tangannya ke atas, menghindari tangan-tangan mungil yang berusaha meraihnya. "Ahahaha, coba tangkap kalau bisaa!" Tentu saja perbedaan tinggi yang jadi masalah utama.

Wah kalau sudah begini kan jadi panas hatinya. Hal ini tidak bisa ditolerir lagi karena sudah mencakup pelecehan harga diri karena tinggi badannya yang standar untuk laki-laki. Dan Cakra pun melakukan hal paling berani yang pernah dilakukannya pada Gilang.



Cup!


MONOKROM (BL INDO) (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang