16. Bagian Enam Belas

961 75 0
                                    

Anaraya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anaraya

"Males banget gua sekolah, Mending nyari kerja biar dapet duit."

Raya berjalan santai dengan pandangan yang mengarah ke pintu gerbang sekolah yang hampir tertutup, Ia menggeleng kepala pelan ketika bahunya beberapa kali tersenggol oleh siswa yang berseragam sama seperti yang ia kenakan. Mereka terlihat berlarian tatkala gerbangnya sudah benar-benar tertutup rapat.

Raya menghela nafas sambil membungkukkan bahunya, "Yahh terlambat, Ngga jadi sekolah deh." Ucapnya tersenyum lebar lalu berdiri tegak sambil memperbaiki tataan rambutnya yang sebenarnya masih rapi

Dengan raut wajah yang terlihat cerah Raya hendak berbalik tapi tiba-tiba seseorang dari depan menubruk tubuhnya hingga membuatnya kaget dan jatuh terduduk di atas jalanan

Raya mengelus bokongnya yang terasa nyeri lalu menatap kesal pelaku utamanya

"Lo punya mata tapi ngga tau fungsinya." Kesalnya

"Gua buru-buru, Lo sendiri juga salah kenapa berdiri ditengah jalan." Balasnya tidak terima

Raya berhenti mengibas-ngibaskan tangannya ketika mendengar penuturan orang didepannya yang ternyata adalah sesosok cewek berambut pendek. Hah. Ternyata dia adalah tokoh utama perempuan di novel ini, Amerta.

Raya berdiri dari posisi duduknya, Ia terdiam cukup lama sambil memperhatikan Amerta. Asli, Ketika di lihat dari jarak dekat seperti ini dia terlihat sangat cantik plus manis dengan fitur wajah yang kecil tapi sayangnya pembawaannya tomboy dengan lengan baju yang dilipat keatas tak lupa permen karet yang sedari tadi dia kunyah dimulutnya sungguh membuatnya terlihat seperti berandalan sekolah.

"Gua ada utang sama lo? Liatinnya gitu amat." Ketus Amerta lalu tangannya meraih tas ransel hitamnya yang terjatuh

Raya memilih diam dan tidak merespon perkataan Amerta. Ia sibuk memikirkan apakah orang yang ia temui waktu malam itu adalah orang yang sama? Mereka terlihat seperti dua orang yang berbeda dengan kepribadian yang bertolak belakang.

"Ayo ikut gua, Gua tau jalan pintas biar kita bisa masuk."

Dengan tiba-tiba Amerta menarik paksa tangannya dan tanpa jeda dirinya terseret mengikuti tarikan Amerta, "Eh eh gua ngga mau ikut." Ucap Raya tapi tidak didengarkan oleh Amerta

Raya menganga tatkala ia dihadapkan dengan tembok beton dengan tinggi dua kali lipat dari tinggi badannya, Ia menggeleng dengan raut muka ogah ketika melihat Amerta sudah menyiapkan ancang-ancang untuk menaiki tembok tinggi itu

"Ayo kesini, Lo duluan biar gua dorong dari bawah." Ucap Amerta memukul-mukul tembok dibelakangnya menyuruh Raya mendekat

Sekali lagi Raya menggeleng, Ketinggiannya membuat kepalanya mendongak sampai lehernya terasa pegal, Bagaimana nanti kalau dirinya terjatuh? Kalau meninggal ya tidak apa-apa tapi kalau patah tulang atau cacat? Amit-amit, Dirinya tidak mau.

"Lo aja deh, Ngga mau gua. Itu tinggi banget anjir." Tolak Raya

Amerta mengedipkan bahu lalu tanpa aba-aba dia melempar tas nya duluan
"Ini ngga terlalu tinggi, Kalau lo liatnya dari dekat sini." Ucapnya kemudian langsung menaiki tembok hingga membuatnya terduduk di atas

Raya mengumpat dalam hati, Tidak terlalu tinggi untuknya tapi tidak untuk Raya sendiri, Karena tinggi badannya jauh lebih pendek dari pada Amerta

"Gua duluan, Nanti ketos jablay itu nemuin gua." Pamit Amerta langsung melompat ke bawah

Raya berdiri tegak masih memusatkan pandangannya ke arah tembok, Sepertinya alur novelnya benar-benar berjalan sesuai yang dibaca untuk kedua tokoh utamanya. Semoga mereka cepat menyadari perasaan satu sama lain siapa tau kalau ceritanya sudah tamat dirinya bisa balik lagi ke kehidupannya sebagai dania, Sungguh dirinya sangat menantikannya ya tuhan.

Raya menyunggingkan sudut bibirnya ketika membayangkan dirinya kembali ke kehidupannya yang sempurna, Menjadi Dania Khumairah anak gadis kesayangan bapaknya.

"Buset anak kelas sepuluh membolos?"

Raya menatap kesamping menyadari bahwa dirinya tidak sendiri. Ia memicingkan mata tidak suka melihat cowok yang berdiri menjulang dengan rokok ditangannya itu, Dia benar-benar definisi berandalan sekolah sesungguhnya. Bajunya kusut tanpa kancing bagian atas, Name tagnya pun tidak tertempel dibajunya, Dia tidak mengenakan dasi dan lihatlah bahkan kaos kakinya berbeda warna. Raya tarik kembali ucapannya tadi dia bukanlah berandalan tapi gelandangan.

Terdengar kekehan kecil yang keluar dari mulut cowok itu "Terpesona hm?" Tanyanya sembari menyisir rambutnya yang kusut dengan tangan kirinya

Raya bergidik, Bulu kuduknya dibuat merinding dengan tingkat kepedean cowok itu yang diatas rata-rata

"Apasih lo, Jamet." Sinis Raya

Cowok itu tertawa lalu menghisap rokoknya kemudian membuang puntungnya ke sembarang arah. Dia menatap intens Raya, Mukanya terlihat asing dimatanya

"Kok gua baru tau, Ada siswi Glorius School Semanis ini." Ucapnya menggoda

"Kenalin gua Agra, Cowok paling tampan di sekolah ini." Ucapnya lagi sembari mengulurkan tangannya memperkenalkan diri

Raya menatap tangan besar itu tanpa ada niatan menyambutnya. Agra? Dirinya tidak tau di novel ada orang yang bernama Agra.

"Seluruh badan gua emang terlihat mempesona, termasuk tangan." Tuturnya kembali dengan kepedean yang sudah diatas langit

Raya memperlihatkan raut muka masam, Rasanya ia ingin menampol muka sok kegantengan itu. Ia meraih tas ransel dipunggungnya dan mengambil cermin kecil dari dalam lalu meletakkannya di tangan agra

"Lo mending ngaca deh, Mata lo aja masih ada beleknya. Ketahuan banget ngga mandi." Ucap raya mengejek cowok itu

Agra mengarahkan cermin kecil itu ke wajahnya, Mengedipkan sebelah matanya sembari memanyunkan bibirnya ala-ala pose selfie "Gini-gini masih tetep tampan kan?" Ucapnya menatap raya dengan alis yang begerak keatas

"Ihh gila lo, Sinting."

Raya berbalik dan berjalan cepat meninggal Cowok yang mengaku namanya Agra itu, Apa motivasi penulisnya hingga menciptakan tokoh menjijikkan seperti itu. Tubuh kekarnya tidak cocok dengan tingkah lakunya.

Agra, Cowok itu terlihat menahan suara tertawanya ketika melihat adek kelasnya itu meninggalkannya "Dia mengingatkanku pada seseorang." Ucapnya

____

"Saya sudah berapa kali mengingatkanmu, Supaya tidak terlambat lagi. Tapi lihat?"

Gadis itu mengangkat sebelah kakinya ke atas kursi sembari menatap jengah sosok yang menceramahinya dari setengah jam yang lalu, Dia kadang bertanya dalam hati apakah sosok di depannya tidak pernah masuk kelas dan belajar? Dia sudah tidak terlihat seperti ketua osis lagi tapi melainkan guru bk dengan segala kebacotannya

"Ya maaf, Rumah gua kan jauh makannya terlambat." Elaknya lagi

Hampir tiap hari alasannya selalu sama, Sampai-sampai membuat sosok yang memegang buku filosofi ditangannya itu bosan mendengarnya

"Karena rumah jauh atau kebablasan tidur karna malamnya ngejual diri?" Ucap sosok yang sekarang tersenyum miring itu, Dia adalah Arlan dan orang yang duduk dengan gaya tidak sopan di depannya adalah Amerta

Amerta spontan berdiri dengan jari telunjuk mengarah ke sosok Arlan "Lo jangan kurang ajar ya bangsat!" Murkanya tidak terima

Arlan dengan tampang tenang menatap datar jari Amerta yang hendak bersentuhan dengan wajahnya lalu dengan dingin menatap Amerta yang langsung menurunkan jari telunjuknya

Tanpa permisi Amerta berbalik dan keluar dari ruangan itu sembari menutup pintunya keras.

bersambung....


Please, Just kill meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang