Setelah menutup pintu pintu rumahnya, Hyona langsung bersandar di pintu dan menekan tangannya di dada. Ia kira ia sudah melupakan Kim Jongwoon. Dengan melanjutkan hidup, Hyona kira hatinya sudah bisa lepas dari pria itu. Tapi ternyata ia salah. Hyona hanya pura-pura lupa. Pria itu ternyata masih bertakhta di hatinya. Dan melihat Jongwoon menggandeng tangan gadis lain, membuat hati Hyona terasa tercabik-cabik. Sakit. Sakit sekali.
Lebih menyakitkan lagi ketika pulang, Hyona mendapati rumahnya tidak ada siapa-siapa.
“Hyona-ya, selamat ulang tahun. Appa membuatkan sup rumput laut untuk—“
“Maaf, Appa, tapi aku harus pergi sekarang juga,” sahut Hyona yang buru-buru keluar dari dapur. Tanpa mengindahkan ayahnya sama sekali.
Ayah Hyona berdiri dibantu menggunakan kruk kaki. Pria paruh baya itu cukup kesulitan mengejar sang putri. “Kenapa buru-buru? Ada pekerjaan mendesak? Setidaknya sarapanlah dulu.”
“Aku tidak bisa, Appa. Maafkan aku.”
Tanpa berpamitan dengan benar kepada ayahnya, Hyona keluar dari rumah. Gadis itu tidak memiliki pekerjaan mendesak. Ia juga tidak memiliki hal penting yang harus dilakukan dengan segera. Karena Hyona hanya pergi ke apartemen Kim Jongwoon.
“Jongwoon Oppa!” Hyona mengetuk pintu apartemen Jongwoon, dengan begitu bodoh mengemis pada mantan kekasih yang meninggalkannya semalam itu. “Tolong bukakan pintunya. Aku tahu kau tidak mungkin meninggalkanku begitu saja.”
“Oppa, kau tidak lupa kalau ini hari ulang tahunku kan? Kau berjanji akan mengajakku berlibur ke Gangneung hari ini.”
“Oppa, kenapa tiba-tiba kau seperti ini? Apa yang Heejin lakukan padamu? Apa dia mengancammu?”
“Oppa, tolong bukakan pintunya. Kau bilang kau sangat mencintaiku. Tapi kenapa kau meninggalkanku?”
Tak lama kemudian pintu itu akhirnya terbuka. Namun bukan Jungwoon yang muncul. Melainkan Heejin. Gadis itu muncul dengan pakaian tidur yang sangat tipis dan wajah khas bangun tidur yang begitu memuakkan di mata Hyona. “Kau...”
“Apa kau mau kulaporkan ke kantor polisi karena membuat keributan pagi-pagi begini?” sinis Heejin.
“Kau... kenapa kau...”
Jung Heejin tersenyum sinis. “Kenapa? Apa aku tidak boleh bermalam di rumah kekasihku sendiri?”
Hyona mengepalkan tangannya dengan begitu benci. “Apa kau tidak lelah berusaha menjadi sepertiku? Tidak cukup ide dan karyaku kau curi, sekarang kekasihku pun kau curi?”
“Apa maksudmu mencuri? Semua yang kukerjakan itu memang ideku sendiri. Dan Jungwoon Oppa? Kau pikir aku menggodanya?” Heejin menggeleng sinis. “Dia yang jatuh cinta lebih dulu padaku. Kau tahu? Kami bahkan sudah sering tidur bersama saat kau masih menjadi kekasihnya.”
“Tidak. Jungwoon Oppa tidak mungkin—“
“Aku tidak tahu kau memiliki muka setebal ini, Shin Hyona. Kau tidak malu mengemis cinta pada pria yang sudah jelas-jelas muak denganmu?”
Jung Heejin benar. Hyona pun baru tahu bahwa dirinya bisa menjadi manusia sebodoh ini. Manusia yang tidak memiliki harga diri. Dan lagi setelah semua yang terjadi, Hyona masih saja menangisi Jungwoon seperti orang bodoh. Gadis itu duduk diam di taman sendiri. Menangisi pria yang memilih gadis lain. Menangisi kisah cinta yang ia harapkan akan menjadi cinta sejati.
Hyona baru bangun dari lamunannya ketika hari nyaris gelap. Dengan langkah tertatih, gadis itu akhirnya pulang. Namun tak cukup dengan apa yang terjadi, semesta seolah mengajak Hyona bercanda sekali lagi. Hari itu, di lantai dapur rumahnya yang dingin, Hyona menemukan ayahnya terbaring tanpa nyawa. Dan di meja, masih terdapat sup rumput laut yang sama sekali belum tersentuh.