Hari itu hari Minggu pertama bulan Desember 2032. Tak seperti biasanya, salju sudah turun di kota Barcelona. Meskipun begitu, orang-orang tetap berbondong-bondong menuju tempat pemilihan umum. Pemilihan itu menentukan masa depan Catalonia. Merdeka atau tetap bergabung dengan Spanyol.
Sementara itu di Istana kerajaan di Madrid, keempat anggota kerajaan dengan serius menonton live streaming pemungutan suara. Sang Ratu Leonor merasakan tangannya tetap dingin walaupun sudah ada pemanas ruangan. Kegelisahan tampak di wajahnya. Semua hening kecuali suara dari layar kaca.
"Aku pergi dulu" ucapan Sofia memecah keheningan.
Leonor berdiri dan menyahut
"No. Tidak bisa. Di luar terlalu berbahaya. Untuk hari ini, kita harus tetap di dalam istana sambil menunggu hasil referendum.""Aku hanya ingin ke tempat teman."
"Teman siapa? Pacarmu? Suruh dia ke sini saja."
"Alex bukan pacarku."
"Whatever. Yang pasti kamu tidak boleh keluar."Dua saudari itu ngotot dengan pendapatnya masing-masing hingga sang Ibu Suri Letizia menengahi. Digenggamnya tangan Sofia.
"Sofi, kakakmu benar. Ini adalah masa-masa genting. Berikan alamat temanmu. Nanti biar Alba yang menjemput."
"Harus dijemput pengawal?" Sofia tak percaya ucapan ibunya.
"Iya, dan nanti akan kembali bersama pengawal juga."
"Unbelievable!""Sofi, sebagai seorang yang dulunya orang biasa seperti temanmu, aku rasa saran ibumu benar. Dalam keadaan ini, siapapun bisa mengganggu atau mencelakai kamu atau temanmu." Kali ini Umberto yang memberikan pendapatnya.
"Baiklah." Sofia akhirnya mengalah.
____________
Satu jam kemudian, Alex sampai di istana. Satu per satu dia dikenalkan ke anggota keluarga Sofia.
"Tidak usah canggung di sini, Alex," Letizia tersenyum.
"Baik, Yang Mulia."
"Tidak perlu seperti itu, panggil nama saja. Dan tenang saja. Kami tidak akan mengganggu privasimu dan Sofia."Jawaban Letizia membuat Leonor dan Umberto terbatuk-batuk. Sofia menatap tajam pada keluarganya. Sungguh memalukan.
"Kami ke taman dulu." Ucap Sofia sambil menarik tangan Alex.
_____
Salju memang belum turun di Madrid, tapi suhu sudah mulai dingin. Sofia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya."Jadi, untuk apa aku dipanggil kemari, Putri? Sampai dijemput pengawal. Jujur aku kaget."
"Aku bosan. Aku ingin menjauh dari topik referendum. Soal pengawal, itu ide Mama, maaf."
"Untung saja ini Minggu ya, jadi aku libur."
"Maaf kalau aku mengganggu waktumu, Alex. Aku tak bermaksud.."
"No, it is OK."
"Oh ya, kita duduk di gazebo itu saja."Gazebo itu berupa rumah-rumahan kecil tanpa dinding dan memuat beberapa kursi dan sebuah meja berbentuk oval. Sofia dan Alex melangkah beberapa meter hingga sampai di tempat itu.
Alex mengamati Sofia mengusap-usap tangannya. Rupanya dia tidak memakai sarung tangan.
"Dingin ya di sini, Sofi."
"Ya, tapi pemandangannya indah kan. Di sini jauh dari pemukiman warga, memang untuk privasi kami."
"Maksudku, kau tak memakai sarung tangan."
"Aku lupa. Terburu-buru tadi. Haha. Tidak masalah."
"Sini tanganmu."Alex melepaskan sarung tangannya dan memakaikannya ke tangan Sofia.
"Lho kamu jadi tidak memakai sarung tangan."
"Tidak masalah. Lemakku lebih banyak untuk menghadapi kedinginan ini."
"Terima kasih, Alex. Tapi aku tidak ingin kau kedinginan."Diambilnya kedua telapak tangan Alex, lalu kedua tangan Sofia melingkupinya seperti sandwich.
"Nah begini kan sama-sama tidak kedinginan."Mata Sofia beralih dari tangan mereka ke mata Alex. Namun ada yang berbeda darinya. Mata Alex menatap tajam pada Sofia. Lalu mendekat..
Sofia bisa merasakan nafas Alex mendekat. Dan mendekat. Hatinya berdebar-debar.
Bibir yang tadinya kering dan dingin kini menemukan kehangatan. Namun baru dua detik, Alex menarik diri.
"Maafkan aku."
"Tak perlu. Bibirku juga kedinginan." Kini Sofia yang mendekat. Bibir mereka bersatu kembali. Kini lebih lama.Tanpa mereka sadari, Leonor mengamati mereka dari balkon kamarnya.
______
"Quick count sudah keluar." Umberto masuk ke kamar mereka. Leonor pun meninggalkan balkon.
"Bagaimana?"
Umberto tak segera menjawab. Digenggamnya kedua tangan istrinya. Kalimat itu sulit keluar dari mulutnya. Tapi dia tak punya pilihan.
"80an persen mendukung kemerdekaan."
"Ohhh." Leonor melepaskan tangan suaminya dan terduduk di tepi tempat tidur. Tak terasa air matanya mengalir di kedua pipinya.Umberto ikut duduk di samping istrinya. Tangannya berusaha menghapus air mata dari pipi Leonor.
"Umberto, apakah aku ratu yang gagal? Belum ada setahun aku menjabat, Catalonia sudah pisah."
"No, jangan berpikir begitu. Catalonia adalah bom waktu. Mereka sudah ingin merdeka sejak jaman kakekmu. Hanya saja kebetulan referendumnya di jamanmu. Lepaskan Catalonia. Catalonia adalah duri dalam daging."
"Bagaimana kalau Basque ikut memisahkan diri? Atau daerah-daerah yang lain?"
"Para pro kemerdekaan Basque tidak sebanyak di Catalonia. Dan semua daerah lain mendukungmu. Kamu adalah sang Ratu, simbol kesatuan negara kita. Kuatkan dirimu."
"Ya, benar. Aku tidak boleh menjadi ratu yang lemah. Terima kasih, sayang. Aku tak tahu bagaimana hidupku tanpamu."_________
Beberapa hari kemudian, Perdana Menteri Teresa Ruiz menemui Sang Ratu di ruang kerjanya.
"Yang Mulia, ini hasil akhir referendum Catalonia. Mohon ditandatangani." ucapnya sambil menyerahkan lembaran kertas ke hadapan Leonor.
"Teresita, bolehkah aku memanggilmu begitu?"
"Boleh, Yang Mulia."
"Teresita, sebelum aku menandatangani dokumen ini, aku ingin bertanya."
"Silakan, Yang Mulia."
"Apakah kalian menerimaku sebagai ratu?"Teresita mengerutkan keningnya. Pertanyaan macam apa itu.
"Tentu saja, Yang Mulia."
"Aku tidak bertanya pada dirimu sendiri. Tapi bagaimana menurutmu dengan parlemen? Apakah ada probabilitas referendum yang lain? Kau tentu paham yang aku tanyakan.""Well, dengan pisahnya Catalonia, maka persentase anggota parlemen yang anti monarki kemungkinan besar akan turun. Saya kira, referendum republik tidak akan terjadi, setidaknya dalam waktu dekat."
"Baiklah. Aku hanya tidak ingin korban berjatuhan lagi. Pengawalku sendiri tertembak beberapa bulan lalu." Ucapnya sambil menandatangani hasil referendum itu.
"Anda tidak perlu khawatir. Partai kami tidak ada masalah dengan sistem monarki."
"Baiklah, aku percaya padamu, Teresita."
____________
Waktu terus berjalan dan kecemasan Leonor akan pisahnya Basque dan runtuhnya monarki tidak terbukti.
1 Maret 2033, tepat setahun setelah Leonor naik tahta, kota Madrid dihias dengan foto-foto resmi Ratu Leonor dan Pangeran Umberto. Ratusan rakyat menunggu di luar istana untuk menemui Sang Ratu.
Sementara itu, Sang Pewaris, Sofia memiliki kejutan sendiri di hari itu.
"Ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin."
Diraihnya handphone nya. Dengan gemetar dia ketik satu per satu huruf yang dia inginkan.
"Alex, apa hasil testpack kehamilan bisa salah?"
Tolong bantu VOTE (tekan bintang) jika Anda berkenan dengan cerita saya. Satu VOTE Anda sangat berarti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Leonor : Viva La Reina! (Bahasa Indonesia)
Fiksi PenggemarPrincess Leonor akhirnya menjadi ratu Spanyol. Tapi apakah masa jabatannya berjalan mulus? Apakah sang adik, Infanta Sofia dapat menemukan belahan jiwanya? Bagaimana perjuangan Leonor untuk mendapatkan pewaris? Viva la Reina! adalah sekuel dari The...