Tiga minggu kemudian...
Umberto memandangi amplop putih di depannya. Tidak pernah ia merasa setakut ini. Rasanya amplop itu berisi keputusan antara hidup dan mati, atau antara surga dan neraka.
Rasanya berat sekali tangannya bergerak. Tapi akhirnya rasa ingin tahunya mengalahkan segalanya. Diraihnya amplop yang berasal dari Swiss itu.
Di bagian depan amplop itu tertulis
To Umberto Sajonia-Coburgo-Gotha Garcia de la Rasilla.
Ya, demi keamanan ia menggunakan nama aslinya, bukan gelarnya HRH Prince Consort.
Tangannya gemetar memegang kertas di dalam amplop itu. Dibacanya kalimat-kalimat yang tertulis dari atas hingga bawah. Hingga kalimat
You two are 99% genetically matched as parent and child.
Matched? DNA kami cocok? Artinya anak itu adalah anakku?
Dunia terasa berputar bagi Umberto. Tangannya gemetar meraih gagang laci mejanya. Dia keluarkan sebuah benda hitam dari situ.
Air mata jatuh dari kedua matanya ketika dia bersiap menekan pelatuk pistol itu. Baginya hidupnya sudah berakhir. Baginya dia hanyalah benalu untuk Leonor, Sang Ratu. Leonor pantas mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari dirinya. Lebih baik dia mati saja.
____________
Namun Tuhan berkata lain.
Kringgg... Kringg...
Telepon di meja kerjanya berdering. Dengan masih menangis sesenggukan, ia letakkan kembali pistolnya ke dalam laci. Diambilnya tisu untuk mengusap air matanya.
"Halo." Umberto berharap suaranya terdengar normal.
"Halo, anakku. Maaf menelepon ke kantor. Mama sudah mencoba menelepon ke handphone mu tapi tidak terhubung. Ada masalah?"Suara Maria membuat Umberto kembali menangis. Rasanya dia tak pantas menjadi anak dari wanita sebaik itu.
"Tidak ada apa-apa, Ma. Hanya baterainya habis."
"Ok, Mama hanya mau tanya, Luisa dan Giovanna sedang di Zarzuela? Mama mau ke sana, kangen cucu. Bisa?"
Hatinya kembali hancur mendengar nama kedua anaknya disebut. Dia merasa menjadi ayah terburuk untuk mereka.
Tapi Umberto harus tetap menjaga nada suaranya agar Maria tidak curiga.
"Iya, Ma. Tentu saja."
"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa, sayang."
"Sampai jumpa, Mama."
Sesudah meletakkan gagang teleponnya, ia kembali mengusap air mata dari wajahnya. Pikiran logis kembali ke otaknya. Aku tidak boleh mati dulu.
______________
Sementara itu di Paris, perasaan Gabrielle campur aduk membaca hasil tes DNA itu. Ia sama sekali tidak meminta popularitas atau uang. Ia hanya ingin Umberto mengakui bahwa anak yang dikandungnya adalah anak Umberto. Namun kini ketakutan melingkupi hatinya.
Bagaimana jika Umberto tidak terima?
Bagaimana jika Leonor tahu? Marah?
Bagaimana kalau mereka... kalau mereka ingin membunuh anak ini? Membunuhku juga?________________
Gabrielle terperanjat ketika nomor tak dikenal menghubunginya. Dia takut bukan main. Apakah ini orang yang dikirim Umberto atau Leonor untuk membunuhku?
"Halo." Mau tidak mau Gabrielle mengangkat panggilan itu.
"Halo, Gabrielle. Apakah kamu sudah menerima hasilnya?"
Suara itu melegakan hati Gabrielle. Itu suara Umberto dan tidak ada nada marah dalam kalimatnya.
"Sudah. Kau?"
"Sudah juga."
"Apakah Leonor sudah..."
"No. Leonor belum tahu dan tidak boleh ada yang memberitahunya, kecuali aku." Nada bicara Umberto semakin naik.
"Baik. Lalu apa tujuanmu menghubungiku?" Gabrielle gemetar.
"Aku ingin kau menggugurkan anak itu."
Gabrielle tidak percaya pada apa yang didengarnya.
"No. Aku ingin anak ini. Aku tidak butuh popularitas atau uangmu. Tolong jangan paksa aku. Ini... ini kan anakmu juga, darah dagingmu sendiri, Umberto."
"Tapi lama-lama bangkai pun akan tercium baunya. Mereka akan tahu. Dan hidupku akan hancur karena itu!" Teriak Umberto.
"Tidak. Aku tidak akan membocorkan hal ini pada siapapun. Aku hanya minta pengakuan darimu di depanku, bukan di depan orang lain."
"Anak itu tidak akan selamanya berada di kandunganmu. Anak itu akan lahir, tumbuh besar dan bertanya siapa ayahnya. Apa jawabanmu kalau anakmu bertanya seperti itu?"
"Akan aku katakan bahwa dia adalah hasil donor anonim. Dia tidak akan tahu kebenarannya. Kami tidak akan menuntutmu. Aku janji demi nyawaku. Tapi tolong jangan paksa aku menggugurkan anak ini. Aku mencintai anak ini bahkan sebelum dia lahir!"
"Bagaimana aku bisa tahu kalau kau tidak berbohong?"
"Kita bisa membuat kesepakatan resmi."
"Hmmm. Ide yang bagus. Nanti aku akan menghubungimu lagi."
"Baiklah. Sampai jumpa." Hati Gabrielle lega.
"Sampai jumpa." Umberto menutup panggilannya, menaruh handphone nya ke dalam sakunya, lalu menoleh ke belakang. Seketika dia diam tak berkutik.
Leonor sudah berdiri di situ sejak lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Leonor : Viva La Reina! (Bahasa Indonesia)
Hayran KurguPrincess Leonor akhirnya menjadi ratu Spanyol. Tapi apakah masa jabatannya berjalan mulus? Apakah sang adik, Infanta Sofia dapat menemukan belahan jiwanya? Bagaimana perjuangan Leonor untuk mendapatkan pewaris? Viva la Reina! adalah sekuel dari The...