Dua Puluh Empat

548 47 17
                                    

Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kamar. Sumire masih terbaring dalam posisi tengkurap di atas ranjang dengan nyaman. Punggung putihnya terekspose dengan begitu jelas. Di beberapa bagian terdapat bekas ruam kemerahan hasil karya dari bibir Kawaki.

Enggan sekali terbangun sebab tubuhnya yang terasa begitu ngilu di seluruh persendian tulangnya. Sementara Kawaki sudah berkutat di dapur untuk membuat sarapan.

Aroma masakan Kawaki menguar, menggelitik indra penciuman Sumire hingga membuat wanita itu terbangun dari tidurnya. Tubuh mungilnya bergerak, mencoba mengubah posisinya dengan susah payah. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Presensi Kawaki di area dapur tak lepas dari perhatian Sumire pagi itu.

Rasa bersalah itu muncul bersama kesadarannya. Apa yang telah ia lakukan dengan Kawaki semalam tidak bisa ia lupakan. Pengalaman pertamanya, yang ia jaga untuk ia berikan kepada Boruto, justru berakhir dengan pria yang statusnya bukanlah sebagai kekasihnya.

Apa yang harus ia lakukan? Apakah Boruto akan memutuskan hubungan mereka jika tahu apa yang Sumire lakukan di belakangnya?

Sumire mendarup kasar wajahnya oleh rasa bersalah yang menghancurkan hatinya. Nyeri sekali hatinya namun ia tidak bisa menangis. Padahal rasa sesak di dadanya terasa begitu menyiksa. Hingga kemudian ia terlonjak saat tangan besar Kawaki menyentuh bahunya.

"M-maaf," ucap Kawaki.

Pria itu pun merasa sama bersalahnya. Ia sadar bahwa dirinya telah mengambil pengalaman pertama Sumire. Terbukti dari bercak darah yang mengotori sprei putihnya. Berapa tahun Sumire berpacaran dengan Boruto? Dan Boruto ternyata belum pernah menyentuh Sumire sama sekali. Padahal pria itu sudah bermain gila dengan Sarada.

Sumire tampak beringsut mundur, menghindari kontak fisik dengan Kawaki. Bukan jijik, tapi lebih mengarah pada rasa canggung dan malu.

Menyadari bahwa Sumire butuh waktu untuk menyendiri, Kawaki akhirnya mundur.

"Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Maaf, aku harus pergi dan tidak bisa mengantarmu pulang." Pria itu pun pergi dari sana, meninggalkan Sumire yang membeku di atas ranjang.

☘️☘️☘️

"Sayang, kau sakit?" Boruto meletakkan punggung tangannya pada kening Sumire untuk memastikan suhu tubuhnya.

Hampir lima belas menit berlalu dan mereka melalui waktu lima belas menit itu dalam diam. Boruto pun hanya memperhatikan gerak-gerik Sumire yang tampak lebih pendiam dari biasanya.

"Hanya sedikit pusing," jawab Sumire sembari tersenyum tipis. Ia meletakkan sendoknya, sebab tidak bernafsu makan sama sekali.

Bayang-bayang malamnya bersama Kawaki terus saja menghantuinya meski kejadian itu sudah berlalu seminggu lamanya.

Selama satu minggu itu pun Sumire mengurung diri di kamarnya, menahan diri untuk tidak menemui Boruto karena masih di hantui oleh rasa bersalah. Bukankah dia telah berkhianat?

Jika saja Boruto tidak datang ke rumahnya secara tiba-tiba, mungkin Sumire masih berada di kamarnya, menolak untuk keluar agar tidak bertemu lagi dengan Kawaki.

Tapi pria brengsek itu lun tidak menghubunginya sama sekali. Apakah dia tidak merasa bersalah telah meniduri seorang gadis? Tanpa sadar Sumire menghela napas lelah. Padahal kekasihnya sedang duduk di seberangnya namun ia memikirkan pria lain.

"Aku antar pulang jika kau ingin beristirahat. Maaf sudah memaksamu keluar rumah."

Sumire tersenyum getir. Ia menggeleng pelan lalu setuju untuk kembali pulang.

Setelah mengantar Sumire pulang, Boruto mengarahkan mobilnyaa menuju apartemen Sarada. Rasanya ia tidak bisa jika tidak bertemu Sarada meski hanya sehari saja.

"Kenapa ke sini?" tanya Sarada ketika ia membukakan pintu untuk Boruto. "Katanya mau makan malam dengan dia?"

Boruto melempar tubuhnya ke sofa sembari menarik tangan Sarada hingga membuat wanita itu jatuh ke pangkuannya. Ia lalu memagut bibir Sarada dengan rakus dan melepas kaos oversize yang Sarada kenakan lalu membuangnya ke lantai.

"Dia sakit," jawab Boruto setelah melepas ciumannya.

"Kenapa kau tidak menemaninya saja?" Sarada mengusap dada Boruto lalu membenarkan lipatan kemeja yang pria itu kenakan.

"Dia butuh istirahat," jawab Boruto lalu mengecup lagi ranum Sarada.

"Aku juga butuh istirahat," Sarada mengerling jahil. Ia membelai leher Boruto dengan ujung jarinya, membuat pria itu merinding tak karuan.

"Ssshh, Sarada," Boruto meremas pinggang Sarada lalu mengecupi kulit pipi dada Sarada yang menyembul.

Sarada menjauhkan wajah Boruto dari dadanya. "Jangan," lirinya dengan suara yang tercekat. "Tidak ada seks, jika kau masih belum memberi keputusan." Ia lalu meraih kaosnya dan kembali mengenakannya.

"Sarada-"

"-Tidak, Boruto." Sarada bangkit dari pangkuan Boruto lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman dingin. "Waktu mu tinggal satu minggu lagi."

Boruto menahan napasnya. Netranya bergerak mengikuti kemana Sarada pergi. Tinggal seminggu lagi untuknya memberi keputusan tentang hubungan bercabangnya. Boruto masih belum memutuskan kepada siapa ia akan berakhir. Haruskah ia melepaskan Sumire. Andai saja keputusannya tidak meninggalkan luka bagi wanita yang tidak ia pilih.

Boruto bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekati Sarada dan memeluk tubuhnya dari belakang. Ia meletakkan dagunya di bahu Sarada, menggerakkan tubuh mungil itu ke kanan dan kekiri seperti melakukan dansa.

"Aku memilihmu. Tapi aku belum merangkai kalimat untuk melepaskan Sumire. Bagaimana jika dia terluka?"

"Bagaimana jika aku terluka?"

"Sarada-"

"Bagaimana jika aku yang terluka, Boruto? Kau tidak pernah berpikir sampai ke sana?"

Boruto memutar tubuh Sarada untuk ia dekap. Sungguh, ia begitu dilema sekarang. Sulit untuk memilih satu di antara dua wanita yang ia cintai.

"Maaf sudah melukaimu, sayang."

"Berhenti membagi perasaanmu. Tanpa kau sadari kau sudah menyakiti kami berdua. Aku tidak berbohong, Boruto. Aku benar-benar akan pergi jika kau tidak segera memberi keputusan."


Another Love [BoruSara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang