3. togame jo

21 2 0
                                    

Sesaat setelah pertemuanku dengan Togame, suara keributan terdengar dari tempatnya. Aku langsung berinisiatif kembali ke sana, meskipun aku tahu dia pasti akan memarahiku.

Kericuhan pertarungan yang tidak aku ketahui penyebabnya. Shisitoren berhadapan dengan sekelompok preman.

Mataku menangkap sosok Togame di tengah pertempuran. Tubuhnya dipenuhi luka, napasnya terengah, tetapi sorot matanya tetap tajam menatap musuh di depannya. Dia terlalu fokus bertarung hingga tidak menyadari bahaya lain yang mengintainya-seseorang mendekat dari belakang, bersiap menyerangnya.

Tanpa berpikir, kakiku bergerak sendiri. Aku berlari ke arahnya, ingin melindunginya.

Usaha yang sia-sia.

Sebuah pukulan keras menghantam pipi kananku. Rasa nyeri menyebar cepat, kepalaku berdenyut, dan aku mengerang pelan. Suara itu menarik perhatian Togame.

"(Name)!!!"

Teriakannya menggema, membuat sebagian orang di sekitar menoleh. Pandanganku mulai buram. Aku tak bisa lagi fokus pada apa yang terjadi selanjutnya. Yang kudengar hanya suara pukulan yang mendarat keras, lalu dentuman seseorang jatuh ke tanah.

Tiba-tiba, aku merasakan tangan kuat menarikku menjauh dari kerumunan.

Togame.

Begitu kami berada di tempat yang lebih aman, dia menatapku tajam, napasnya masih tersengal.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau nekat melakukan hal berbahaya seperti itu?!"

Suara geramnya terdengar tertahan, tetapi aku bisa merasakan emosinya.

Togame mendekat, kedua tangannya dengan lembut menangkup wajahku. Mata zamrudnya menelusuri luka di pipiku, ekspresinya menggelap saat melihat memar yang mulai terbentuk. Jarinya menyentuhnya dengan sangat hati-hati, seolah takut menyakitiku lebih jauh.

Aku melihat alisnya berkerut-bukan karena merasa bersalah telah menghajar preman itu hingga pingsan (yang jelas-jelas adalah hal baik baginya), tetapi karena dia gagal melindungiku dari bahaya.

"Kau tidak seharusnya terluka seperti ini."

Suaranya lebih pelan sekarang, tapi penuh ketegasan. Biasanya, ada keceriaan dalam sikapnya-sebuah aura ringan yang membuatnya seolah tak terganggu oleh apa pun. Tapi kali ini berbeda. Melihatku terlibat langsung dalam pertarungan Shisitoren membuatnya terguncang.

Aku menunduk, merasakan perih di pipiku semakin menyengat. "Maaf... Niat awalnya aku hanya ingin membantumu. Tapi sekarang... aku malah jadi beban seperti ini."

Aku bisa merasakan suaraku bergetar.

Togame menatapku dalam diam, ekspresinya melunak. Jemarinya dengan lembut menyapu pipiku, berusaha mengurangi rasa sakit yang aku rasakan. Tapi di balik kelembutan itu, aku bisa merasakan sesuatu yang lain.

Kemarahan.

Diam-diam, amarah itu menyala di dalam dirinya, tersembunyi di balik sorot matanya.

Togame kembali menangkup wajahku dengan kedua tangannya, menyentuhku seakan aku adalah sesuatu yang rapuh dan berharga. Sentuhannya kontras-lembut, tapi dengan ketegasan yang tak bisa diabaikan.

"Berjanjilah kepadaku satu hal."

Aku menatapnya, menunggu kata-kata selanjutnya.

Ia menghela napas perlahan, ibu jarinya kembali mengusap memar di pipiku. Aku bisa melihat bagaimana ia mencoba menenangkan diri, menahan emosi yang masih bergolak di dalam dadanya.

"Lain kali, jika hal seperti ini terjadi... janji padaku kau tidak akan mencoba melindungiku."

Aku mengangguk pelan. Aku tahu, setelah kejadian ini, Togame tidak akan membiarkanku sendirian untuk beberapa hari ke depan.

Bukan karena dia marah.

Tapi karena dia tidak ingin kehilangan aku.

Dan mungkin... aku juga tidak ingin kehilangan dia.

-end-

A Star In ProgressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang