15. Topi Upacara dan Bubur Ayam

13 0 0
                                    

Aku menikmati liburan akhir semester di rumah saja. Setelah main ke rumah Max, tidak kemana-mana lagi. Kalau ada yang mengajak keluar aku merasa malas dan berubah jadi orang yang gemar menabung. Tapi jika sudah ingin keluar, malah tidak ada yang mengajak, teman-teman sudah pergi mudik dan berlibur dengan keluarga masing-masing.

Ketika sudah kembali waktunya beraktivitas sebagai seorang pelajar normal, aku bingung apa yang akan aku ceritakan pada teman-teman kalau mereka membahas tentang tempat wisata yang mereka kunjungi sewaktu cuti. Masa aku ceritakan alur drakor yang aku lihat sambil rebahan di rumah? kelihatan sekali kalau aku tidak bisa memanfaatkan waktu liburan dengan baik.

Dapat dilihat ketika tahun baru. Grup chat ku dipenuhi oleh ucapan 'Happy New Year' dengan berbagai aktivitas mereka yang menarik. Bandingkan dengan aku yang hanya bisa post foto kembang api dari jarak sangat jauh. Hanya terlihat titik titik seperti bintang kecil, tidak berbentuk percikan api sama sekali.

Dari banyaknya ucapan selamat tahun baru, satu kontak tidak muncul sama sekali. Aku pikir dia yang paling antusias untuk mengucapkan kalimat positif itu ke seluruh orang. Ternyata salah, Mikhael tiba-tiba seperti tidak punya handphone. Anak itu tidak muncul di sosial media, padahal itu waktu yang tepat untuk berbagi cerita ke publik.

Aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Hidup Mikhael memang sulit ditebak. Dia terlalu misterius. Aku hanya berharap dia sedang merayakan tahun baru yang meriah bersama seluruh keluarganya.

Beberapa hari berlalu cepat sekali. Aku kembali mengenakan seragam SMA dan bersiap untuk berangkat sekolah lebih awal. Kalau kata Ayah, tahun baru harus punya semangat yang baru.

“Ayah, aku berangkat sama Salsa. Anaknya udah di depan.”

Semangat baru yang aku maksud adalah ini. Berangkat sekolah bersama sahabatku.

“Hati-hati. Udah pamitan ke Ibu?”

“Udah. Assalamualaikum,” ucapku seraya menyalami Ayah. Beliau juga menjawab salamku.

Aku keluar rumah sambil tersenyum lebar kepada Salsa. Gadis itu juga sempat turun dari motor untuk mencium tangan Ayahku. Setelah itu, kami berangkat menuju sekolah.

“Din, topi upacaraku hilang tau.”

“Kok bisa?” Aku tahu betul Salsa ini bukan tipe orang yang ceroboh. Aku sedikit terheran saat dia mengaku bahwa kehilangan barangnya.

“Kayaknya keselip deh, tapi nggak ketemu,” ucapnya lagi.

“Tapi kamu udah dapet pinjaman topi?” tanyaku. Aku lihat helm dikepalanya itu bergoyang, dia menggelengkan kepala. “Lah, Sa? hari ini upacara loh.”

“Iya tau! Apa aku pura-pura sakit di UKS aja ya?”

Aku berpikir, ada benarnya juga, tapi, “Sa, kamu nggak pinter bohong. Ntar kamu malah ketawa pas pura-pura sakit,” ujarku merasa was-was. Pasalnya apa yang aku katakan memang benar adanya.

Saat itu Salsa tertawa, tuh kan, belum dilakukan saja dia sudah tertawa. “Ah yaudahlah! Sekali-kali ditaruh barisan khusus,” ucap Salsa pasrah. Sekolahku selalu ada sanksi bagi pelanggar saat upacara, yaitu dibuatkan barisan khusus di samping bapak ibu guru.

...

Lima menit sebelum upacara dilaksanakan, aku menghubungi teman-teman sekelas dan beberapa kenalanku dari kelas lain untuk mendapatkan informasi bila saja ada yang memiliki topi dobel. Terkhusus bagi anak paskibra, biasanya mereka punya topi minimal tiga setiap anak, kata mereka itu hasil yang mereka dapatkan dari loker-loker meja setiap di kelas, jujur sekali.

Mikhael Bhanu

|Aku bawa topi, Di
06.50

Aku tersenyum lebar saat itu, kupanggil Salsa dengan antusias saat Mikhael mengirim pesan pribadi setelah aku kirim pesan di grup kelas.

Seperti Tulang | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang