Aku menghentikan motorku tepat di depan pekarangan rumahnya. Aku membuka kaca helmku. Memperlihatkan sederet gigiku pada Mikhael. Kala itu dia sedang menyapu halaman rumah, rajin sekali dia. Untuk pertama kalinya juga aku lihat dia dengan setelan rumahan. Dia pakai kaos Joger yang ada kutipannya dengan celana pendek Manchester United.
"Adi! ngapain ke sini?" dia bertanya dengan nada girang. "Padahal topinya besok aja nggak apa-apa." Seakan tahu kalau aku datang untuk mengembalikan topinya.
Laki-laki itu menghampiri aku dengan sapu lidi ditangannya. Aku lihat dia dari atas hingga bawah sambil berdecak kagum. "Rajin banget anak lanang."
"Wah! Ya, jelas dong!" ucapnya dengan angkuh.
Aku melepaskan kantung plastik yang menggantung di motor. Kuberikan pada Mikhael. "Topinya ada di dalam. Terus ada bubur ayam juga. Tadi Ayah pulang kerja bawa bubur ayam. Tapi aku nggak suka."
Dengan kerlingan di matanya, Mikhael membuka ikatan kantung plastik itu. "Orang aneh dari mana kamu bisa nggak doyan bubur ayam?"
"Nggak aneh! normal!" kataku tidak terima.
"Terus kamu belum makan?" Aku menggeleng. Dia melihat kantung plastik yang padat itu. Kemudian dia menatap aku.
"Nggak apa-apa, aku lagi males makan juga." Aku berbohong, sebenarnya aku lapar.
"Aku juga males sih. Tapi kalau ada temennya aku mau!" ucapnya.
Bisa aku tangkap maksud Mikhael sore itu. Tak berpikir jauh, aku tertawa lalu memasukkan motorku di halaman rumahnya. Dia terlihat girang saat itu.
"Sekalian kasih tau aku materi pelajaran tadi," ucapnya.
"Dasar bolosan!"
"Diajak Puput," sangkalnya.
"Diajak yang enggak-enggak kok mau?" Dia tertawa saja.
Mikhael mempersilahkan aku masuk ke ruang tamu. Sepi, sama seperti pertama kali aku datang ke sana.
Aku duduk di sofa. Mikhael pergi ke dapur, saat dia kembali dia sudah bawa sendok. Aku perhatikan tangannya basah juga, dia habis cuci tangan.
"Wih, apa nih?" Mikhael membuka plastik bola-bola ubi.
"Ibu yang buat."
"Ibu ngasih ini buat aku?" Mikhael menatapku tidak percaya. Aku mengangguk mantap. "Aduh, Ibumu perlu anak cowok nggak?" seloroh Mikhael.
"Kayaknya kalau anak cowoknya kamu, enggak dulu deh," ucapku.
Bahunya melorot saat itu. "Padahal aku mah baik, nurut, membanggakan," ucapnya percaya diri.
"Pembohongan publik!"
Mikhael membuka box bubur ayam. "Kamu beneran nggak mau?" Aku menggeleng. "Besok-besok kalau Ayahmu bawa bubur ayam lagi, kasih ke aku aja, Di!"
"Dih! nggak tau malu!"
"Hahaha. Kamu tim bubur diaduk atau enggak, Di?"
"Aku tim nggak suka bubur ayam." Mikhael tergelak keras. Padahal menurutku tidak ada yang lucu. "Apaan sih? garing!"
"Bikin mi sana!" ucapnya. Aku hampir tidak percaya Mikhael mengatakan itu. Dia mempersilakan aku membuat mi instan di rumahnya.
"Yang bener aja?"
"Bener. Itu sana lurus aja udah dapur, terus ada toples besar, ada mi instan di dalamnya," ucap Mikhael santai.
Aku terkikik. "Ah, Mikhael, kalau gini aku jadi enak," ucapku. Sungguh, aku lapar betulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Tulang | Haechan
Ficção AdolescentePun aku menemukanmu dalam kondisi retak dan membusuk. Namun, kau tetap hidup, menunggu hari berkabungmu sendiri. #Lee Haechan