13. Dermaga Petang Hari

16 0 0
                                    

Jalanan Kota Kediri hari itu basah setelah diguyur hujan. Waktu itu aku duduk di jok belakang motorku, Mikhael mengambil alih kendali motor. Katanya, saat aku yang menyetir, dia rasanya seperti mau copot jantung. Kalau kataku sih, Mikhael saja yang tidak bisa mempercayaiku. Andai dia tenang dan bisa percaya bahwa aku pengemudi yang baik, tidak akan dia merasa khawatir saat aku bonceng. Tapi itu bukan masalah besar, sebab dibonceng rasanya lebih nyaman juga.

"Adi, aku mau rujak buah," ujar Mikhael sambil sedikit mencondongkan tubuhnya ke belakang untuk berbicara denganku.

"Ya udah cari," jawabku santai.

"Kamu mau jajan apa?"

Aku berpikir sejenak. Jajanan apa yang ingin aku beli akhir-akhir ini. "Aku mau beli es jagung!" ucapku sedikit antusias.

"Dimana?"

"Nggak tau," ucapku serambi mengangkat bahu. Mendengar itu, Mikhael memukulkan helmnya ke helmku. Itu membuat aku mendorong kepalanya ke depan cukup keras. Dia malah tertawa kencang.

Tak lama setelah itu, Mikhael menghentikan motor di dekat penjual es jagung. Setelah itu kami lanjut mencari rujak buah. Mikhael itu rewel sekali, dia terus-terusan mengeluh sebab kesulitan menemukan penjual rujak buah. Katanya sudah semingguan ini dia ingin jajanan tersebut.

"Tuh tuh! Rujak buah tuh!" ucapku sambil menunjuk arah 20 meter kedepan.

"Puji Tuhan!" Mikhael girang saat itu.

Mikhael meminggirkan motor. Setelah turun dari motor, dia berlari kecil ke arah penjual rujak buah.

"Pak, rujak buah sa-" Mikhael melihatku. "Kamu juga nggak?" Aku menggeleng. "Rujak buahnya satu, Pak," ucap Mikhael sambil mengacungkan jari telunjuknya yang sebelah kanan.

"Bumbunya mau yang pedas atau pedas manis?"

"Yang manis aja nggak ada, Pak?" Aku menahan tawaku yang hampir meledak saat Mikhael melontarkan pertanyaan itu.

"Waduh, nggak ada, Mas."

"Yang pedas manis aja, Pak," ucapnya.

Pedagang itu mulai memotong satu persatu buah-buahan. Ada kedondong, melon, jambu air, semangka, mangga muda, nanas, bengkoang, mentimun, dan pepaya. Sesekali aku memerhatikan Mikhael yang celingukan melihat penjual memotong buah-buahan.

"Biasa aja lihatnya, El," ucapku mengejeknya. Dia meringis.

"Berapa, Pak?" tanya Mikhael setelah penjual itu memasukkan mika berisi buah dan sambal di dalam kantung plastik.

"Delapan ribu."

Setelah membayar. Aku dan Mikhael kembali melanjutkan perjalanan. Mikhael memintaku untuk membawa rujak buahnya, padahal jika digantung di motor juga bisa. Tapi dia khawatir kalau jajanannya itu jatuh. Daripada membuat cowok itu merasa was-was, akhirnya aku menerima permintaannya untuk membawa rujak buahnya.

"Adi, ini mau langsung pulang?"

"Emang mau kemana lagi?"

"Kamu keburu pulang nggak?"

"Enggak."

"Mau makan di dermaga nggak?"

"Ayo!" Aku mengangguk. Sudah lama aku tidak duduk di dermaga. Terakhir waktu dengan teman-teman SMP. Sore-sore begini, pasti langitnya terlihat indah.

"Tapi nanti Ibu nggak nyariin?"

"Aku udah izin pulang telat kok," jelasku. Mikhael mengangguk paham.

Kami berbelok sehabis melewati jembatan Brawijaya. Setelah memarkirkan motor, kami turun kebawah. Aku sedikit takut saat melihat pijakan-pijakan yang menurutku sedikit membahayakan.

Seperti Tulang | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang