02. Perkara Nama

23 3 0
                                    

Sudah dua bulan aku menjadi siswi SMA. Cukup menyenangkan dan melelahkan. Ada banyak sekali yang terjadi di dua bulan itu. Kelasku juga semakin tertata. Para cowok yang sebelumnya benar-benar kacau, mulai dari bertengkar, berbicara kotor, sekarang tidak begitu. Itu terjadi sebab kebijakan kelasku memang sedikit ekstrem. Waktu itu sempat dibuat aturan bahwa sekali berbicara kotor maka harus menghantamkan mulut pada ujung meja sebanyak tiga kali. Yah, sekarang anak-anak cowok sudah mulai berhati-hati. Meski aku masih kerap melihat mereka yang bergurau sedikit melewati batas, tapi ya sudahlah.

Sekarang ini si ketua kelas, namanya Tyas mulai menerapkan aturan baru. Bersama Andin sang sekretaris kelas, ia membuat semacam nomor undian yang jumlahnya sama dengan jumlah siswa kelas kami. Nomor itu nantinya akan diambil masing-masing siswa untuk kemudian bisa menempati bangku sesuai nomor urut yang didapatkan. Jadi mereka tidak bisa memilih ingin duduk dengan siapa. Itu tergantung pasangan sesuai nomor urut. Hal ini dilakukan supaya mengurangi risiko sering berbicara dengan teman saat jam pelajaran dilaksanakan. Aturan ini sudah berjalan selama dua minggu terakhir, dan akan dilakukan perubahan tempat duduk selama satu minggu sekali.

Sekarang aku duduk di bangku tengah barisan ke tiga. Teman yang duduk sebangku dengan aku juga berbeda. Dia cowok, tubuhnya lebih pendek dari aku, dan sedikit cerewet. Aku tidak suka dengan sikapnya yang cerewet itu. Apalagi dia juga terlalu 'sok' dalam setiap hal. Aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan supaya aku bisa menjalani seminggu bersama Fathan dengan penuh kelancaran.

Tapi aku tidak yakin jika satu minggu ini akan lancar, sebab siswa yang duduk di depanku sangat mengganggu. Dia adalah biang kerok jika terjadi kekacauan di kelas. Siapa lagi kalau bukan Putra? Aku tidak yakin bisa baik-baik saja jika duduk tepat dibelakangnya. Tapi aku masih bisa bersyukur, kasihan Zahra yang malah duduk di samping Putra. Aku lihat gadis itu sedikit tidak nyaman karena selama pembelajaran, Putra mengajaknya mengobrol. Sabar ya Zahra, ini hanya satu minggu.

“Din, pinjam bolpoin.” Putra berbalik badan sambil mengulurkan tangannya ke arahku.

Aku menatap malas. “Emang bolpoinmu mana?”

“Habis. Cepetan sini aku pinjam.”

“Nggak mau. Pinjam Zahra aja,” kataku menolak.

Putra melirik Zahra sejenak, kemudian ia sedikit berbisik. “Zahra kelihatan agak risih kalau sama aku. Aku gak boleh ganggu dia.”

Sejak kapan Putra jadi sadar diri?

“Siapa yang gak ngebolehin?”

“Max.”

Aku berdecih. “Pinjem bolpoin ke Fathan aja.” Aku memilih untuk melanjutkan catatanku.

“Gak. Bolpoinku cuma satu,” jawab Fathan.

“Tuh, katanya cuma satu loh, Din. Pinjam bolpoinmu aja lah.” Putra masih bersikeras.

“Gak.”

“Ck. Pinjam dong, nanti kamu bisa jadi pacar aku.”

Gila! Apa-apaan?

Wong gendeng.
(Orang gila)

“Din...,” Putra merengek. Aku sih bodo amat.

Tiba-tiba Putra merampas tempat pensilku. Aku melotot ke arahnya. “Heh!” Aku memekik tertahan. Beruntung tidak ada guru di kelasku. Aku mencoba meraih tempat pensilku, tapi gagal.

Putra mengambil satu bolpoin kemudian tersenyum menyebalkan. “Makasih, Dinda.” Cowok itu mengembalikan tempat pensilku.

Aku mengatur napas supaya tidak terpancing emosi. Memilih untuk membiarkan Putra memakai bolpoinku, aku mulai lanjut menyalin catatan di papan tulis lagi. Tapi selanjutnya, tanpa permisi, Putra malah mengambil tipe-x milikku. Aku tidak habis pikir dengan cowok itu.

Seperti Tulang | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang