Sudah pukul 23.45, aku kesulitan tidur. Kepalaku menerka-nerka apa yang telah diterima Mikhael selama ini hingga aku menemukan dia dalam kondisi yang tidak bisa aku jabarkan sebaik-baiknya. Dia yang begitu resah sore itu, suara isakan dan deru napasnya yang memburu, wajahnya yang pucat pasi, serta pengakuan dari Max bahwa Mikhael memiliki phobia pada hujan.
Kemudian dapat aku tarik garis lurus bahwa kecelakaan yang menimpa Mikhael ketika hujan bukan semata-mata karena roda motornya yang tergelincir, bisa jadi karena saat itu phobia hujannya kambuh.
Max juga tidak mengatakan apapun lagi, jadi sore itu aku memutuskan untuk pulang ketimbang mengulik informasi tentang Mikhael. Bahkan Max juga sempat mengingatkan aku untuk tidak membocorkan kejadian itu kepada siapapun. Tentu, perkataan Max sama saja sudah membatasi aku terkait Mikhael, aku tidak punya hak untuk ikut campur lebih dalam. Mungkin saja apa yang sudah terjadi adalah sebuah aib yang seharusnya tidak boleh orang lain tahu.
Sekeras apapun aku mencoba untuk berhenti memikirkan Mikhael, nyatanya bayangan laki-laki itu yang merintih tetap menghantui aku. Seorang remaja laki-laki yang penuh tawa dan banyak tingkah, rasanya tidak pernah terbayang bahwa ia memiliki kelemahan pada sesuatu yang tidak hidup.
Beberapa kali aku menimang-nimang, hingga setelah itu aku putuskan untuk mengirimkan pesan pada Mikhael.
Mikhael Bhanu
Kamu udah baikan?|
23.57Saat pesan itu berhasil masuk, pikiranku berubah. Aku segera menghapusnya dari kolom chat ku.
“Din udah, nanti El jadi risih karena dikira kamu ikut campur,” ucapku pada diri sendiri.
Tak lama kemudian, notifikasi berbunyi. Jantungku jadi berdetak lebih cepat saat tahu bahwa Mikhael mengirimkan pesan kepadaku.
|Knpa blm tidur, Di?
23.59Aku bingung harus jawab apa. Sekitar tiga menit aku hanya diam melihat layar ponselku. Otakku terus mencoba memikirkan kata-kata yang pas dan tidak menyinggung Mikhael nantinya.
|Kok cm dibaca doang?
|Tidur, Di
00.02Iya, habis ini|
00.03|Emang mau ngapain?
00.03Minta maaf|
00.03Tanganku gemetar saat mengetikkan pesan. Aku mulai merangkai kata-kata untuk Mikhael.
|Belum hari raya, Adi
|Ngapain minta maaf?
00.04Saat itu, aku ingin menangis. Dadaku terasa sesak. Dia kembali menjadi Mikhael teman sekelas ku yang suka bercanda. Padahal, beberapa jam yang lalu dia terlihat tidak berdaya.
Aku ga berniat ngungkit|
Tapi aku kepikiran|
Aku minta maaf|
Aku ga mksud liat kmu kya tdi sore|
Aku bakal lupain kejadian tadi|
Jdi kmu tenang aja ya|
Maaf kalau kmu merasa terbebani|
00.06Pesanku hanya dibaca oleh Mikhael, tidak ada tanda-tanda cowok itu akan membalas pesanku. Aku semakin merasa bersalah. Jika bisa memilih, lebih baik malam itu Mikhael memakiku habis-habisan daripada tidak membalas pesanku sama sekali.
Aku sungguh tidak bisa tidur. Kepalaku sampai pusing. Tapi setelah itu, mataku rasanya semakin segar. Tiga puluh menit berlalu, akhirnya Mikhael mengirimkan pesan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Tulang | Haechan
Teen FictionPun aku menemukanmu dalam kondisi retak dan membusuk. Namun, kau tetap hidup, menunggu hari berkabungmu sendiri. #Lee Haechan