09. Jumat dan Hujannya

11 0 0
                                    

Saat ini, kelasku sedang ribut-ributnya. Jam kosong banyak sekali dari pagi. Apalagi kelasku termasuk ke dalam kelas yang siswanya hiper. Aku pusing sendiri melihat mereka yang berkeliaran.

Omong-omong, hari itu waktunya gilir bangku lagi. Pekan itu, sudah cukup aku duduk dengan Mikhael si biang onar. Tapi lebih bergajulan Putra sebenarnya. Sudah satu mingguan aku tidak pernah tenang. Ada saja yang dilakukan Mikhael untuk menggangguku. Bahkan satu hari sebelumnya aku hampir menangis karena dia bilang kalau buku paketku hilang. Padahal, dia sendiri yang menyembunyikannya. Aku kesal sampai mataku berkaca-kaca karena melihat wajahnya yang cengar-cengir tanpa dosa. Terlepas dari itu, aku hanya berdoa semoga setelah ini aku bisa duduk dengan Salsa walaupun anak itu sedang absen karena sakit.

Aku prihatin dengan kondisi Tyas yang terlihat frustasi menghadapi teman-temannya. Sudah jelas-jelas akan tetap menggunakan sistem lotre, namun mereka tetap ngotot request ingin duduk dengan siapa saja. Tapi aku juga ikutan sih.

“Tyas! Pokoknya aku duduk sama Salsa!” Maaf, Tyas, tapi teriak-teriak seru sekali.

“Aku nggak mau sama Putra pokoknya!” ucap Mikhael, tumben.

“Plis, aku sama El!” ucap Putra dengan nada yang dibuat-buat.

“Nggak mau, anjeng!”

“Mau!”

Emoh!” Mikhael kukuh.
*Tidak mau

Mereka sedang membuat drama macam apa lagi sih? Aku bergidik ngeri melihat mereka.

“Mending aku sama Adi daripada sama kamu!” tegas Mikhael.

“Aku yang nggak mau!” ucapku dengan lugas.

Mikhael sontak mengerutkan keningnya dan Putra tertawa seru. “Adi kok gitu? Kita udah selingkuh loh,” ucapnya dengan santai. Aku melotot.

“Najis!” Aku hampir tertawa saat Mikhael bilang kami selingkuh. Jadi teringat isi pesanku dengan Mikhael di smartphone. Saat ia mengajakku keluar karena ingin selingkuh dari Putra.

“Apa? Selingkuh? Yaampun, El, padahal kemarin malem kita baru aja minum bareng,” ucap Putra.

“Puput ih mulutnya!”

“Sumpah, kalian nggak waras.” Aku menggelengkan kepala.

“Minum kopi, Di,” ucap Mikhael meluruskan.

“Nggak ngurus,” balasku singkat.

“Ah, Adi mah!”

“Aku sama Dinda!” Suara siapa itu?

Ricuh di kelas masih berlangsung, namun samar-samar aku dengar ada suara dari belakang yang menyebut namaku. Aku lihat di bangku belakang, Taksa menatapku. Di sampingnya ada Dava yang tertawa kecil kepada Taksa. Orang yang mengatakan Aku sama Dinda tadi adalah Taksa. Namun saat melihat Dava yang bereaksi seperti itu, aku sadar mereka sedang bercanda. Namun tatapan Taksa kepadaku terlihat sedikit berbeda.

Setelah itu, aku berhenti ikutan berteriak seperti yang lain. Aku pura-pura merasa lelah kemudian memilih untuk bermain handphone.

“Apaan sih?” aku bergumam mengingat Taksa yang berteriak menyebut namaku. Tapi untuk akhir-akhir ini, dia memang lebih sering ngobrol denganku daripada sebelumnya.

Sekitar lima belas menit, Tyas baru bisa meredam keadaan. Setelah itu, kami melaksanakan lotre seperti minggu yang lalu. Aku dapat bangku tengah. Sayang sekali, lagi-lagi tidak dengan Salsa. Tapi aku masih bersyukur, setidaknya aku duduk dengan perempuan, namanya Hana, dia baik. Lagipula jarak bangkuku dengan Salsa nantinya tidak jauh, meja Salsa ada di sebelah kanan mejaku. Namun, di belakang kursi yang akan diduduki oleh Salsa, ada kursi milik Mikhael, otomatis jarakku dengan Mikhael juga dekat. Kalau putra, dia duduk dengan Max, saat itu dia girang sekali. Walau tidak dengan Mikhael, dia tetap duduk dengan salah satu sahabatnya. Tapi tetap saja, Mikhael, Putra dan Max, tiga orang dengan banyak ulah itu jarak bangkunya dekat-dekat semua dengan aku. Malas sekali.

Seperti Tulang | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang