Aku pulang pukul 17.30. Saat sampai rumah pun Ayah menatapku penuh intimidasi. Beliau sudah siap dengan baju koko warna maroon, sarung hitam, peci, dan sajadah yang tergantung di pundak bagian kanan. Di ambang pintu, Ayah bersedekap dada.
“Mau ke musholla, Yah?” ucapku basa-basi setelah turun dari motor.
“Menurutmu aja gimana?” jawabannya seperti tidak bersahabat. “Ya kali ke rumah Mikhael,” lanjutnya.
“Ayah kenapa sih?” Aku melirik Ayah sebelum ngancir melewatinya begitu saja.
“Mandi sana! Sholat!”
“Ini juga mau mandi. Ayah tuh sering bolong sholatnya,” aku mencibir sembarangan.
Hal tidak terduga terjadi. Ayah menurunkan sajadah dari bahunya, lalu ia slepet pelan kepadaku. Aku hanya berdecak tidak suka saat Ayah memasang wajah galak.
Ayah memang seperti itu, sering bertingkah random. Waktu itu pernah beliau bercanda saat aku sedang menyapu ruangan dalam rumah, secara sengaja Ayah malah menginjak kotoran yang aku sapu sambil sedikit menyeret kaki. Itu membuat aku memekik tertahan dan mengadu pada Ibu. Sedangkan Ayah saat itu hanya menjulurkan lidahnya.
...
Salsa memasang raut wajahnya yang begitu masam. Dia terus-terusan berdecak kesal setiap melihatku. Seolah-olah dia ingin menceritakan kepada aku tentang bagaimana isi hatinya yang begitu berantakan.
Masalahnya setelah beberapa hari duduk dengan laki-laki ambis membuat dia sering mengeluh. Padahal seharusnya laki-laki itu bisa menularkan virus ambisnya, tapi ternyata malah membuat sahabatku naik darah. Katanya, sikap cowok itu sama sekali tidak berempati pada sesama manusia. Salsa bilang, dia seperti duduk dengan patung.
Partner sebangku Salsa namanya Aksara. Semester lalu, dia menduduki peringkat pertama di kelas dan peringkat ketiga paralel di angkatan kelas X sekolahku. Cowok berkacamata, ganteng dan glowing seperti ubin masjid. Cowok yang digadang-gadang sebagai anak emas kelas kami. Namun dari kelebihan itu, beberapa siswa lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Aksara karena sikapnya yang dianggap kurang bisa bersosialisasi. Ketika dia melengkungkan bibir, seluruh siswa akan heboh, pasalnya Aksara itu sulit sekali untuk tersenyum. Hampir dikira bisu karena bisa jadi sehari ngomong sekali.
“Baru tiga hari aku duduk sama dia, Din. Rasanya kayak udah tiga abad aja. Sumpah, aku nggak tahan.” Salsa terus mengoceh dan mengulangi beberapa kalimat dengan penuh penegasan sambil matanya melotot.
“Sabar, minggu depan rolling.” Aku berusaha untuk menghiburnya.
“Dasar mata empat nggak tau diri!” Setelah menyumpah serapahi Aksara, gadis itu memasang raut lemah. “Cape aku, Din. Pulang sparing pasti malem-malem, jam satu, jam dua. Paginya ketemu patung,” ucapnya lalu berdiri.
“Mau ke mana?” aku bertanya saat dia asik mengutak-atik layar ponselnya sambil berdiri.
“Ke Pak Nurdi, ada info lomba lagi kayaknya.” Salsa kelihatan lelah.
“Beli makan dulu di kantin, Sa,” aku menyarankan.
“Nggak keburu, orang ini sukanya harus sat set,” ucapnya setelah itu tersenyum paksa kepadaku. “Aku duluan, ya!”
“Oke deh, good luck, Salsa!” Gadis itu berlalu keluar kelas dengan punggungnya yang seolah tidak lagi kokoh.
Tak lama kemudian, Aksara muncul dari balik pintu kelas. Ekspresinya seperti biasa, datar bak mayat hidup. Dia duduk di bangkunya, lalu membuka buku tebal untuk kesekian kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Tulang | Haechan
Teen FictionPun aku menemukanmu dalam kondisi retak dan membusuk. Namun, kau tetap hidup, menunggu hari berkabungmu sendiri. #Lee Haechan