01. Bangku Kelas X

50 3 0
                                    

Pukul 23.07. Seharusnya aku sudah istirahat. Tapi waktuku masih panjang, sepertinya. Aku menulis ini sambil mengingat potongan-potongan kecil atas dia. Iya, dia yang akan menjadi tokoh utama dalam tulisan di halaman ini dan selanjutnya. Seseorang dengan penuh kebahagiaan, katanya. Seseorang dengan penuh luka, nyatanya.

Tidak, maksudku menulis semuanya nanti bukan untuk meminta belas kasih. Aku ingin memberi tahu kamu soal Ultraman abal-abal yang begitu kuat untuk menyelamatkan orang-orang disekitarnya. Menyelamatkan mereka dari badai bumi yang begitu buas. Kalau kataku, dia memang pahlawan super. Entah diakui atau tidak keberadaannya. Kupikir dia berhak mendapatkan ketenangan, bukan kekacauan yang membuatnya harus turun tangan. Banyak doa baik selalu ditujukan untuk dia agar segala kebaikan juga bersamanya meski sesungguhnya dia tidak baik-baik saja.

Dan dia layaknya matahari yang belum mati meski telah terbit kemudian terbenam berulang kali. Layaknya tulang-tulang yang patah, kemudian terus tumbuh, meski tidak sempurna.

Kamu siap mengenalnya?

-Seperti Tulang-

"Kamu nanti duduknya sama siapa?" tanyaku pada gadis berkacamata di sebelahku.

"Gak tau. Sama kamu aja udah," jawabnya sambil celingukan di depan kelas.

Aku tersenyum lebar. Lega rasanya tak perlu susah-susah mencari atau berlama-lama menunggu teman sebangku. "Oke," jawabku antusias.

Setelah kakak kelas selesai membereskan barang-barang mereka, kami-para peserta didik baru dipersilahkan masuk ke kelas. Aku dan teman-teman yang lain tersenyum lebar kemudian satu persatu masuk kelas. Sekarang, aku sudah menjadi murid SMA.

Aku mulai melangkah mengikuti teman-temanku yang lain. Dari arah belakang aku mendengar suara riuh anak laki-laki. "Ayo agak cepet jalannya, kebiasaan deh cewek." Tapi siapa peduli? Kupikir seseorang harus lebih memahami artinya sabar. Kudengar suara seorang perempuan membalas ocehan cowok-cowok itu. "Sabar dong. Cerewet banget kayak cewek." Ahaha, sumpah aku puas sekali dengan jawabannya.

Baru saja aku memasuki ruang kelas, tiba-tiba aku merasa ada yang mendorong tasku dari belakang. Hampir saja aku terjungkal jika tidak bisa menyeimbangkan diri.

"Lama ah!" Aku sempat mendengar seseorang yang mengucapkan kata itu bersamaan dengan tubuhku yang terhuyung ke depan. Ah, sepertinya dia yang mendorongku. Tapi setelah melihat aku yang hampir jatuh sambil sedikit terkejut dia langsung berkata, "Eh, sorry gak sengaja. Lama sih kamu."

Apaan sih? Apa dia tidak melihat kalau aku tidak mendapat ruang lebar untuk berjalan lebih cepat? Dan apa yang dia katakan tadi? Tidak sengaja? Ah, dasar menyebalkan. Tapi aku tidak membalas perkataannya, itu hanya membuang waktu. Aku hanya memasang wajah tidak bersahabat dengan dia.

"Gimana sih, Put? Kalau jalan lihat-lihat dong. Ada cewek tetep ditrabas aja, haha," ucap seorang laki-laki kepada orang yang menabrakku tadi.

"Loh? Putra 'kan emang sukanya gitu. Mepet-mepet," sahut yang satunya lagi. Beberapa anak tertawa mendengar guyonan itu, aku tidak. Mereka terlihat kurang sopan menurutku.

Ya, seseorang yang menabrakku tadi namanya Putra. Aku tidak berkenalan dengannya, hanya tau namanya lewat perbincangan cowok-cowok saat diluar kelas tadi. Namanya sering disebut. Bukan nguping, tapi mereka saja yang tidak bisa mengecilkan volume suara saat bergurau. Hm, terlihat dia adalah anak yang cukup terkenal di berbagai kalangan. Pasti mantan pacarnya banyak. Eh, apa sih tiba-tiba memikirkan hal konyol.

Aku duduk di bangku paling kanan baris nomor dua. Duduk dengan gadis berkacamata, namanya Hesti. Dia adalah teman pertamaku. Kupikir seseorang akan salah paham ketika awal-awal melihat Hesti. Dia anak yang terlihat judes. Padahal, dia sangat menyenangkan. Dia ramah dan pandai bernyanyi. Aku sudah mengenalnya saat masih di tahap pengenalan sekolah, jadi sekarang kami sudah akrab. Tidak hanya Hesti, ada satu lagi yang sekarang akrab denganku juga, namanya Salsa. Dia atlet pencak silat, tidak banyak bicara tapi dia terlihat hangat. Jujur, aku merasa lebih dekat dengan Salsa daripada Hesti, hehe. Entah, mungkin karena Hesti juga mulai lebih dekat dengan teman-teman yang lain. Itu hal biasa 'kan?

Seperti Tulang | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang