06. Es?

32 0 0
                                    

Mikhael itu pintar. Walaupun tingkahnya yang super menjengkelkan, aku harus tetap bersyukur bisa duduk sebangku dengan anak itu. Buktinya, ketika aku sedang kesulitan dalam pelajaran matematika atau bahasa Inggris, belajar dengan Mikhael adalah salah satu jalan ninjaku. Walaupun rasanya seperti ninja betulan ketika belajar dengan laki-laki itu. Dia bisa serius, tapi juga tak jarang mempermainkan aku. Itu sungguh melelahkan.

“Di, kamu kalau gak bisa ngerjain satu soal ini, berarti nanti gantiin aku piket waktu pulang sekolah.”

“Heh! Enak aja! Siapa coba yang minta dibuatin soal segala? Aku ini bisa belajar lagi nanti di rumah. Lagian kalau salah ya maklum lah, orang baru belajar, namanya juga manusia.”

“Loh? Kamu 'kan beda, Di. Kamu bukan manusia.” Mikhael menunjukku sambil membuka mulutnya lebar-lebar.

“Maksudmu gimana ya? Gak terima loh aku,” ucapku sambil meletakkan lengan di punggung kursi.

“Kamu 'kan mirip bidadari, Di.”

Aku diam, setelah itu tersenyum lebar. “Aku tau kok kalau aku cantik kayak bidadari,” kataku dengan sombongnya.

“Iya deh bidadari. Biduan dangdut daerah Kediri.” Mikhael tertawa kencang.

“El! Kamu ini ya!” Aku memukul keras lengannya. Awalnya dia mengaduh, namun tawanya semakin kencang. “Garing! Garing! Gak lucu! Wlee!” Aku menjulurkan lidahku.

“Ih! Mirip monyet!” seru Mikhael sambil menunjuk wajahku.

“El! Kurang ajar, Mikhael!” Aku memukulinya.

“Aduh, aduh! Sudah ah! Ampun, Di!” Mikhael meringkuk saat aku memukuli punggungnya. “Di, udah dong! Sakit tau!” Aku masih bisa mendengar sedikit gelak tawanya.

Aku berhenti memukulinya. Padahal aku tidak memukul badannya dengan keras, tapi aktingnya itu memang sangat baik soal si paling tersakiti. “Lebay! Gitu aja sakit!” ketusku.

Dia menegakkan punggungnya. Memegangi bagian bekas pukulanku tadi. “Sakit, Di.”

“Masa? Orang mukulnya pelan kok.”

“Tapi sakit!” Mikhael mendelik.

“Apa iya? Sini coba aku pukul lagi biar tambah sakit.”

“Sembarangan! Jangan dong!” Mikhael menjauhkan tubuhnya dariku.

“Dasar alay.”

Mikhael terkekeh. “Kerjain tuh soalnya. Kalau gak selesai berarti gantiin aku piket.”

“Gak mau. Jangan lari dari tanggungjawab masing-masing ya,” kataku.

“Oke, sepakat. Nanti kamu yang piket.” Mikhael menjentikkan jari. Ini yang paling menjengkelkan. Dia selalu mengambil keputusan dimana lawannya memiliki pendapat yang berbeda.

“El!”

“Makasih, Adi.” Dia tersenyum lebar.

“Mau aku pukul lagi?”

“Bercanda doang!” Ucap Mikhael sambil sedikit menjauh lagi.

“Cowok aneh!” Mikhael hanya tertawa ringan.

Aku kembali mengerjakan soal yang diberikan Mikhael. Laki-laki itu memperhatikan cara pengerjaanku dengan seksama. Sesekali tangannya menyentuh punggungnya. Apakah pukulanku benar-benar membuatnya sakit? Hei, aku hanya main-main saat memukulnya tadi.

“Sakit beneran, El?” Aku menatapnya, Mikhael mengangguk. “Tapi tadi gak keras, El. Cuma bohongan mukulnya.”

“Tapi tetep sakit.”

Seperti Tulang | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang