Kedekatanku dengan Taksa semakin terasa. Dengan jarak yang sedemikian kecil antara aku dan Taksa memberikan pengalaman pertama kepadaku. Aku tak menjamin kami akan jadi pacar, tapi saat itu aku sedikit berharap. Soalnya dia baik sekali. Waktu itu dia bilang mau mengajakku beli cilok, dia betulan melakukannya sepulang sekolah. Dia selalu menyapaku saat kami bertemu maupun pergi. Kami sempat nonton film bersama di handphonenya saat jam kosong di kelas, dan saat itu teman-teman jadi tahu kalau kami dekat. Kadang Dava, Putra, Andin bercanda menyuruh kami untuk jadian, tapi aku dan Taksa hanya menanggapi dengan tawa kecil. Dari aku dan dia, sama sekali belum berani untuk membahas guyonan dari teman-teman.
“Kamu beneran suka Taksa?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Salsa saat kami sedang duduk bersama di gazebo sekolah. Kala itu jam pulang sekolah, kami memutuskan untuk tinggal sejenak, memangkas waktu kosong ketika berada di rumah.
“Iya,” jawabku jujur. Bagaimana aku bisa tidak menyukainya sedangkan laki-laki itu terus mendekatiku tanpa membuatku merasa risih. Perilakunya tetap sopan, tuturnya halus, serta teman-teman yang sering menjodohkan aku dengannya.
“Jangan terlalu baper, Din,” ujar Salsa.
“Udah baper,” kataku.
Kulihat Salsa menghela napas sesaat. “Kalau dia cuma penasaran gimana?”
Awalnya aku diam, tapi setelah itu, “Ya sudah, mau gimana lagi?” kataku seolah aku tidak peduli.
“Aku ngomong gini karena aku temenmu. Taksa itu menurutku,” dia menggantungkan kalimatnya. “Pokoknya orang kayak Taksa suka sama hal baru.”
Aku diam saja dan tersenyum simpul. Walaupun aku sangat minim pengalaman di urusan asmara, tapi bisa aku tangkap ungkapan Salsa sore itu. Dia tidak mengatakan Taksa sebagai laki-laki yang cepat bosan, tapi dia mengalihkan ungkapan bahwa Taksa sebagai laki-laki yang menyukai hal baru. Rasanya memang sedikit menyentil, tapi aku tidak boleh serta merta membuang pendapat dari Salsa. Apalagi dia cukup tahu bagaimana menilai orang.
“Ya kalau kamu nyaman, jalanin aja dulu. Siapa tau jadi,” katanya lagi.
“Sal, menurutmu, iya atau enggak usah aja?”
“Enggak usah.”
“Tapi lebih mending Taksa daripada cowok lain di kelas,” lirihku.
“Emang kamu pengen pacaran sama cowok di kelas kita?”
Aku mendelik sambil menggeleng kuat. “Enggak lah, maksudku Taksa itu lebih baik dari cowok-cowok kelas yang ugal-ugalan itu.”
“Tapi menurutku malah lebih baik sama yang kayak Putra, Fathan. Kayak Max atau El juga boleh, tapi yang versi Islam.”
“Dih, amit-amit,” aku bergidik.
Salsa tertawa kecil. “Iya sih, jangan juga deh.”
Entah angin dari mana, baru saja di bahas, orang-orang itu muncul. Putra, Mikhael, Max, dan beberapa cowok lainnya berjalan menuju ke parkiran. Mereka melewati kami.
“Si anjing, tas ku jangan ditarik-tarik.” Aku lihat Putra yang marah-marah kepada Max saat itu. Setelah itu, Putra tak sengaja melihatku. “Din, dicariin El,” kata Putra sambil menunjuk Mikhael di sebelahnya. Putra menahan tawa.
Aku mengerutkan kening. Kulihat Mikhael awalnya sedikit terkesiap, lalu cowok itu menatapku sambil melambaikan tangan, jari-jarinya menari seperti seorang banci. “Hai sis Adi,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.
“Gila,” ucapku dan Salsa bersamaan. Kami saling menatap kemudian tertawa.
Bukannya lanjut menuju tempat parkir, mereka malah menghampiri aku dan Salsa. “Sal, minta, Sal,” Putra menunjuk-nunjuk bungkus cilok yang dibawa Salsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Tulang | Haechan
Teen FictionPun aku menemukanmu dalam kondisi retak dan membusuk. Namun, kau tetap hidup, menunggu hari berkabungmu sendiri. #Lee Haechan