18. Maikel Jeksen Jualan Risol

13 0 0
                                    

Omong-omong soal risol, sebenarnya makanan itu termasuk kesukaanku. Tapi kalau penjualnya seperti orang-orang itu, rasanya aku harus pikir-pikir lagi. Mikhael terus membujuk aku melalui via online untuk membeli risol jualannya, tapi caranya sangat memaksa dan absurd. Belum lagi aku yang melihat story di sosial media Putra yang terpampang jelas wajah-wajah dengan senyum kriminal, memperlihatkan dengan bangga bahwa tiga laki-laki itu, Max, Putra dan Mikhael adalah brand ambassador untuk risol perdana mereka.

Malam itu rasanya ingin aku blok nomor Mikhael dari kontak Hp, tapi aku tidak setega itu melakukannya. Sampai akhirnya, cowok itu menelpon aku pada pukul 19.30

“Aku bilang nggak mau beli! Aku lagi miskin!” sentakku pada Mikhael melalui ponsel.

“Adi! nggak boleh bilang miskin-miskin gitu, kamu harus kaya, apapun yang terjadi tetap kaya!”

“Hish! udah ah males!”

“Adi, tau nggak? Puput habis diputusin pacarnya.”

“Terus? hubungannya sama aku?”

“Kasihan Puput, Di. Ayo beli risol kita.”

“Maksa banget dari kemarin!”

“Puput galau tau, Di.”

“Emang putusnya gegara apa?”

“Em, ceweknya dipaksa beli risol.”

Aku tertawa terbahak-bahak saat itu.

“Pantes!”

“Adi, plisss, beli risolnya.”

“Nggak mau--”

“Aku nggak ganggu kamu lagi deh habis ini.”

Aku berpikir sejenak. Saat itu bertepatan Ayah berlalu dihadapanku. “Ayah mau beli risol nggak?”

Ayah menoleh. Beliau tengan berkaca sambil membenahi rambutnya. Sempat melirik sebentar kepadaku lalu kembali mencari sesuatu di rambutnya.

“Dimana?” tanya Ayah serambi duduk di sebelahku.

“Jualannya Mikhael,” jawabku. Ayah melirikku dengan sinis. “Katanya jualannya belum laku,” aku berbisik kepada Ayah.

Ayah menghela napas. Beliau menurunkan cermin yang sedari tadi sejajar dengan kepala. “Harganya berapa?”

“Tiga ribu, Pak! Tiga ribu!”

Padahal, aku sudah hendak membuka mulut, tapi Mikhael yang mendengar percakapanku dengan Ayah malah langsung menyahut begitu saja. Aku sempat tersentak, begitu juga dengan Ayah yang keningnya sudah berkerut keheranan.

“Tck, beli tiga aja,” ucap Ayah.

“Beli tiga, El.” Aku mendekatkan mulutku pada ponsel.

“Wah, terima kasih, Pak! eh eh catet catet, sutt kertas mana kertas?”

Di sebrang sana, aku dengar Mikhael yang sepertinya tengah antusias menerima pesanan dari Ayah. Ayah juga sempat tersenyum tipis sambil geleng-geleng.

“Diambil kapan?” Ayah sedikit berbisik.

“Em, bentar.” Aku tarik lenganku sedikit. “El, ini risolnya diambil besok pas di sekolah?”

“Nggak, Adi, eh maksudnya enggak, Dinda, kemungkinan risolnya baru jadi sepulang sekolah.”

Aku tertawa kecil saat Mikhael hampir lupa kalau ada Ayah di dekatku. Sehingga dia sempat keceplosan memanggilku dengan nama buatannya.

“Terus gimana?”

Seperti Tulang | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang