03. Jam Kosong

13 2 0
                                    

Kalau kataku, ini adalah hari keberuntungan. Kami mendapat jam kosong setelah dua jam pelajaran sejarah. Seketika suasana kelas sudah seperti tempat sirkus. Ini tidak terkondisikan. Di dalam kelas beberapa anak laki-laki cosplay menjadi pengamen, menyanyikan lagu galau yang direkam oleh anak-anak perempuan. Hei, kalau diperhatikan mereka berbakat menciptakan sebuah kelompok musik, haha. Dua anak bermain ukulele, sisanya memukul-mukul botol air mineral kosong sambil menepuk paha temannya sebagai nada pengiring. Itu terlihat lebih ambyar ketika mereka bernyanyi dan berteriak sambil memejamkan mata di sudut kelas.

Di bawah papan tulis, beberapa siswa juga asyik berkumpul membicarakan banyak hal. Semakin lama perbincangan mereka menjadi semakin panas. Apalagi jika sudah menggibah. Tidak hanya cewek, beberapa cowok juga ikut memanas-manasi. Bahkan mata mereka sampai melotot saat menceritakan tentang anak kelas sebelah yang katanya sempat perang dengan kakak kelas. Aku tahu apa yang mereka bicarakan sebab aku juga ikut mendengarkan gunjingan itu walaupun hanya sesaat saja, hehe.

Lain di dalam kelas, lain lagi di luar kelas. Aku keluar mencari Salsa sebetulnya. Ternyata anak itu sedang berkumpul dengan teman-teman yang lain sambil tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya mereka sedang menertawakan tingkah Putra saat itu. Aku memutuskan untuk ikut bergabung.

"Kalian mana tau kalau dulu aku pernah famous di kalangan cewek-cewek." Putra menunjuk kearah teman-temannya yang memandangnya remeh.

"Gak tau dan gak peduli." Max mencibir.

"Idih. Asal kalian tau aja waktu itu aku sampai kewalahan nanggepin nomor-nomor asing yang ngehubungi aku. Sebagian besar pada bilang, I have crush on you, gitu tau."

"Pendongeng handal." Max melempar kerikil kecil ke arah Putra.

"Beneran woi. Ah, kamu mah gak percaya."

"Aku juga gak percaya," kataku.

"Aku juga."

"Sama."

Salsa dan Andin menyetujui asumsiku. Putra berdecak, ia terus saja berusaha meyakinkan bahwa dia adalah makhluk paling terkenal di bumi.

"Ya udah kalau kalian gak percaya. Aku bakal buktikan kalau aku juga bisa famous lagi di SMA ini."

"Hilih." Mikhael tertawa remeh.

Tak lama setelah itu, gerombolan kakak kelas terlihat akan melewati lorong kelas kami. Saat itulah Putra menegakkan bahunya. Dia mengeluarkan setengah baju seragamnya.

"Lihatin ya," kata Putra sambil mengacak rambutnya.

"Jiaah sok preman, skip ae lah skip." Andin mengibas-ngibaskan tangannya.

"Ssttt." Putra menempelkan telunjuknya di bibir.

"Yok pepet yok!" Mikhael menyemangati.

Putra menghembuskan napas. Dia sangat percaya diri. Kami memperhatikan gerak-gerik Putra dengan seksama. Dia mulai melangkah. Dia bukan ingin mencegat kakak kelas itu, tapi dia hanya ingin berjalan dihadapan kakak kelas untuk caper. Putra memasukkan salah satu tangannya di saku celana, sedangkan tangannya yang lain menyugar rambut. Dia sudah seperti model terkenal saja. Tapi sayang, andai tali sepatunya terikat dengan benar, dia tidak akan nyusruk. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Putra meringis kesakitan serta malu karena tali sepatunya tak sengaja diinjaknya sendiri.

Kami tertawa melihatnya. Kakak kelas juga sempat terkejut, mereka menahan tawa saat melewati Putra. Bahkan saat kulihat dari jauh, kakak kelas itu masih cekikikan.

"Ahahahaha. Kamu ngapain, Put?" Mikhael tertawa paling keras. Dia adalah golongan kawan laknat yang mencemooh temannya ketika hampir masuk selokan sekolah.

Seperti Tulang | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang