Sebuah kertas warna pink bergambar bunga-bunga menyambut Neona di meja ruang tamu.
"Tadi dari temennya, Neng," kata Bi Yuyun yang sedang menyapu ruang tamu.
Ini adalah undangan ketiga yang Neona terima bulan ini. Gadis itu menghela napas berat tanpa berniat membaca dari siapa undangan itu.
"Neng capek, ya? Mau saya pijitin atau dibikinin teh gitu?" tawar ibu-ibu usia empat puluh tahunan itu tatkala mendengar helaan napas berat anak majikannya.
Neona meraih undangan itu ogah-ogahan. "Nggak pa-pa, Bi. Tolong goreng nugget aja, ya," pintanya.
Bi Yuyun mengangguk, kemudian bertanya dengan agak ragu. "Itu... bajunya abis ketumpahan rawon, ya, Neng? Saya cuciin sekarang mumpung mau nyuci, Neng."
Neona menatap lingkaran besar noda warna kuning yang menghiasi pakainnya lalu menghela napas lagi. Bi Yuyun tampak keheranan. "Abis ini ambil aja ke atas, Bi Yuy." Langkahnya tertahan teringat sesuatu. "Oiya, Mama kemana?"
"Bu Gina lagi ada ketemu klien katanya, Neng."
"Oh."
Neona lalu menuju kamarnya untuk membersihkan segala kotoran yang menempel di badannya. Keringat, kuah ramen, debu jalanan, rasa kecewa, rasa takut, rasa prihatin kepada diri sendiri, dan rasa takut tidak bisa bertemu jodoh atau malah ketemu orang yang nggak benar macam Vano dan... cowok tengil sialan itu. Segalanya harus segera dibersihkan.
Oh iya, soal undangan. Come on, Neona. Umur dua puluh satu tahun itu emang bukan waktunya ribet mencari jodoh. Tapi kalau teman-teman di sekitarnya udah pada nikah, ditambah kemampuan pedekate Neona yang nol karena terlanjur trust issue sama cowok membuat gadis itu seperti takut tidak akan bertemu dengan jodohnya. Kadang-kadang Neona bingung dengan cara kerja otaknya. Apa mungkin ini efek skripsi. Entah lah. Yang penting sekarang, Neona menghapus nomor Vano. Cowok itu bahkan tidak menghubunginya. Benar-benar playboy cap kutu.
Seusai bersih-bersih, Neona ingin menikmati sore harinya dengan tenang sambil mengunyah nugget goreng di meja makan. Di kepalanya masih terbayang bagaimana reaksi mamanya ketika ia menyetujui usulan perjodohan tempo hari.
"Neo, gimana kalau kamu mama jodohin?" Pertanyaan itu terdengar iseng. Tidak jauh beda sama orang yang tiba-tiba ngidam pengen makan rujak.
Neona berhenti mengetik sejenak sebelum menjawab. Ditanya seperti itu memberinya efek kejut kecil. "Terserah, Mama, deh," jawab Neona tak kalah ngasal. Waktu itu dia lagi mumet mencari referensi skripsi. Tapi meskipun dia sedang tidak sibuk, cewek itu pasti akan tetap mengiyakan pertanyaan mamanya.
Mama tampak kebingungan, ini benar-benar di luar ekspektasinya. "Kamu nggak nanya gitu alasannya? Nggak penasaran gitu tiba-tiba mama bilang gini?"
Neona berhenti membaca-baca layar laptopnya lalu menoleh ke arah mama yang sedang duduk di meja riasnya sambil memotong apel. "Mama sama papa dari dulu nggak ngebolehin aku pacaran, kan?" tanyanya mengkonfirmasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Again
Teen FictionNeona nggak keberatan kalau harus dijodohkan dengan orang yang belum dia kenal. Sayangnya Neona mengenal orang yang akan dijodohkan dengannya. Kafka Balaputradewa. Mantannya! Kini Neona harus berurusan kembali dengan orang yang dulu membuatnya haru...