Kiara benar-benar harus mengecilkan suaranya kalau memang dia mau bergosip. Neona dengan jelas bisa mendengar perkataan gadis itu di hadapan ketiga temannya dalam jarak lima meter.
"Emangnya nggak ada cewek lain lagi apa selain si cewek freak itu? Kafka bisa milih kali siapa aja yang mau jadi pacarnya," ujar cewek dengan rambut lurus panjang itu dengan wajah ahli ghibahnya.
"Iya, sih. Gue ngeri si Kafka kena pelet. Soalnya, Neona kayaknya bukan tipe Kafka banget. Kalau dibandingin mantan-mantannya pas SMP, ya..."
Kalau bukan karena diminta Kafka untuk hang out bersama gengnya, Neona tidak akan pernah mau satu meja dengan Kiara, Sasya, dan William. Perkataan mereka tidak mungkin membuat Neona tidak sakit hati. Ingin rasanya ia beranjak pergi, tapi dia adalah pacarnya Kafka yang artinya dia harus berjalan ke arah mereka dan menyapa seolah tidak pernah mendengar kata-kata menyayat hati itu. Neona tidak ingin mendengar kelanjutan percakapan itu, tapi ada bagian dalam dirinya yang memaksanya tetap berdiri di ambang pintu cafe outdoor ini.
"Kalau menurut lo gimana, Will? Lo kan cowok tuh dan udah temenan sama Kafka lebih lama," tanya Kiara sambil menegakkan punggung menunggu jawaban temannya.
William mematikan batang rokoknya yang baru dihisap dua kali, lalu membuangnya ke asbak. "Menurut gue yang kayak gimana maksud lo?" tanyanya dengan suara berat dan santai.
"Ya...., Neona.... Menurut lo dia selevel nggak sama Kafka?" jelas Kiara.
"Gini, deh, menurut lo Neona cakep, nggak?" tambah Sasya.
William berpikir sejenak sambil menatap Kiara lamat-lamat. "Lo naksir Kafka, kan?"
Kiara mengerutkan kening berusaha tidak salah tingkah. "Apaan banget, deh? Gue? Naksir Kafka? Lo gila, ya? Ya, nggak, lah!"
"Semua orang juga tau kali lo naksir Kafka. Ya, nggak, Sya?"
Kali ini Sasya yang gelagapan. "Keliatan dari mana orang Kiara nggak pernah bilang sama gue, kok."
Neona yang masih tidak bergeming dari tempat berdirinya itu diam-diam mengiyakan dalam hati perkataan William. Kiara memang jelas menaruh perhatian lebih dari sekadar teman terhadap Kafka. Dia tidak sama seperti cewek-cewek yang mengincar Kafka lain, yang secara langsung mengatakan bahwa Neona tidak pantas jadian sama Kafka. Namun Kiara selalu memberinya tatapan tidak suka kemanapun dia dan Neona papasan. Terlebih ketika Neona tengah bersama Kafka.
Dari arah lain, Kafka kembali entah dari mana. Itu artinya ini waktu yang tepat bagi Neona untuk memunculkan dirinya di depan teman-teman Kafka yang memancarkan aura negatif itu.
"Kemana? Katanya pacar lo mau dateng?" tanya Sasya bersamaan dengan Kafka yang menempati kursinya.
Kiara berdeham memperbaiki suasana hatinya. "Palingan bentar lagi. Masih di tempat les kali aja."
Neona menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan, berulang sebanyak tiga kali. Dia menyelipkan anak rambut di belakang telinga dan mengusap puncak kepalanya. Neona mengendus ke kanan ke kiri. Setelah memastikan penampilan dan wanginya oke, baru lah Neona memantapkan langkahnya untuk menghampiri keempat orang itu.
"Tuh," tunjuk Willian dengan dagunya.
Kafka melambaikan tangan dengan senyum secerah matahari. Neona membalasnya dengan senyum simpul.
Sasya mempersilahkan gadis kuncir kuda itu duduk tempat di samping kirinya. "Baru pulang les?" sapanya penuh senyuman. Seolah percakapan soal Neona tadi tidak pernah terjadi.
Gadis itu mengangguk. Dia masih mengenakan seragam sementara empat orang itu sudah berganti pakaian main.
Kiara melemparkan tatapan datar sesaat. "Abis ini jadi, kan, kita nonton?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Again
Teen FictionNeona nggak keberatan kalau harus dijodohkan dengan orang yang belum dia kenal. Sayangnya Neona mengenal orang yang akan dijodohkan dengannya. Kafka Balaputradewa. Mantannya! Kini Neona harus berurusan kembali dengan orang yang dulu membuatnya haru...