Bab 6 - Pacar Kafka

11 0 0
                                    

"Jadi kamu kapan wisudanya?" tanya seorang cewek yang duduk di sebelah Kafka yang tengah mengemudi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Jadi kamu kapan wisudanya?" tanya seorang cewek yang duduk di sebelah Kafka yang tengah mengemudi. "Kalau kamu wisuda, kita sekalian liburan, yuk. Kan kamu tau sendiri aku belum pernah jalan-jalan ke Jogja bareng kamu," lanjutnya.

Mata Kafka fokus ke jalan sambil sesekali menoleh ke kiri. "Nanti kalau tanggalnya keluar, aku kabarin, ya."

"Beneran, ya?" tanya cewek itu pura-pura ngambek.

Kafka mengacak-acak puncak kepala cewek itu. "Beneran, Livi Sayang."

Livi tambah bersemangat ketika dia menemukan sebuah ide di kepalanya. "Atau," dia setengah terperanjat oleh idenya sendiri, "aku ikut rombongan keluarga kamu. Biar makin akrab."

Ide Livi tersebut memberikan efek kejut bagi Kafka. Untung saja kakinya tidak reflek menginjak gas atau rem mendadak. "Jangan jangan...."

"Kok jangan," protes Livi dengan dahi berkerut.

"Eh, bukan gitu, maksudnya aku..." Konsentrasi Kafka mulai buyar, ia memelankan mobilnya. "Gini, Sayang... Mami itu mau ke Jogjanya H-seminggu sebelum aku wisuda. Jadi aku sama keluargaku mau liburan sebelum wisuda. Kita bisa liburan setelahnya aja, gimana?"

Kalau tidak dengan kata-kata manis penuh pengertian, bisa-bisa Livi ngambek. Kafka sendiri yang bakal kerepotan kalau pacarnya itu badmood. Untungnya kata-kata Kafka barusan mempan meskipun ide soal jadwal liburan itu baru terlintas di pikirannya alias Kafka mengarang. Mami dan Papi mana ada waktu liburan dalam waktu dekat ini.

Meskipun Livi tidak terlihat ngambek, Kafka masih ketar-ketir ketika pacarnya itu tidak banyak bicara dan memilih sibuk dengan ponsel. Meskipun pacaran dengan Livi agak merepotkan, nggak apa-apa karena Livi adalah tipe Kafka banget. Rambut panjang Livi tambah mempesona ketika cewek itu menyibakkannya di belakang pundak. Fitur wajah yang indah itu membuat Livi terlihat selalu cantik apapun suasana hatinya. Livi juga punya selera penampilan yang tinggi dengan barang-barang bagus. Kadang-kadang Kafka bingung mau memberi hadiah apa karena semua yang Livi mau sudah dia punya.

"Sayang, turunin aku di tempat Austin-"

"Austin?!" Mata Kafka mendelik, fokusnya kembali buyar. Dia menatap Livi yang tengah mengetik di ponselnya.

"Iya, Austin... Aku sama yang lain mau ke Senopati. Ada Maurin, Gala, Bagas-"

"Bagas?!"

"Kamu tenang aja, Sayang. Si Maxwell bawa bodyguard-"

"Maxwell?!"

Semakin Livi menyebut nama-nama cowok itu, semakin Kafka merasa minder. Dibandingkan anak-anak pejabat dan pengusaha itu, Kafka merasa hanya remahan biskuit.

"Kamu mau ikut?"

Kafka reflek menggeleng dan berdalih sedang ada urusan. Pernah sekali Kafka ikut Livi main sama teman-temannya dan itu cukup membuatnya traumatis. Obrolan mereka yang tinggi menembus lapisan stratosfer, obrolan random soal cewek bahkan di depan para cewek, segala hal yang mereka pesan, semuanya sangat bukan Kafka banget. Cowok-cowok yang disebut oleh Livi bisa saja merebutnya dari Kafka kapan saja. Maka dari itu, jadian dengan Livi adalah suatu anugerah yang tidak ingin Kafka lepaskan.

Hello AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang