Bab 9 - Our Family

6 1 0
                                    

Mama selalu bilang dengan percaya diri bahwa bakal calon suami Neona adalah laki-laki yang pas dan idaman semua mertua di dunia. Neona tidak banyak berkomentar kalau Mama sudah membahas ini, kecuali hanya tersenyum dan mengangguk. Alah, tetap saja sesempurna bagaimana pun penilaian Mama, Neona tetap merasa membeli kucing dari dalam karung. Setidaknya dia melihat wajah laki-laki itu, tapi kata Mama tidak perlu. Perjodohan macam apa ini.

Seperti sekarang, Mama sedang bertelepon dengan entah siapa di ruang tengah sambil cengengesan, yang pasti sedang membahas perjodohan absurd ini. Karena di rumah hanya ada tiga orang dan suara Mama cukup menggelegar, Neona tidak repot-repot menguping atau mengendap-endap. Hanya dengan berdiri di depan pintu kamarnya di lantai dua, dia bisa melihat dan mendengar dengan jelas percakapan Mama.

“Iya, Jeng. Kalau bisa secepatnya juga nggak apa-apa.”

“Nggak apa-apa, he-em, kan masih skripsian. Oiya deng lupa, pasti udah tau lah ya progresnya.” 

“He-em, minta bantuannya, ya, biar cepet lulus. Anu, si itu gimana kuliahnya? Jadi mau lanjut ke Swiss?”

“Ah bisa diatur kala itu, bisa dibicarakan. Masa sih nolak buat tinggal di Swiss bareng suami. Eh, maaf, keburu-buru.”

“Nanti datang aja ke toko. Udah, udah datang cangkirnya yang dipesan. Yang gambar burung merak itu, kan? He-em, emang laris kalau itu.”

“Besok banget, Jeng? Nggak apa-apa, dong! Nanti saya obrolin sama Neona. Okey, waalaikumussalam.”

Jangan bilang kalau besok….

“Neonaaa! Mama mau ngobrol bentar, sayang!”

Suara langkah Mama menaiki tangga membuat Neona buru-buru pura-pura sibuk di kamar dengan laptopnya. Tak lama, Mama berdiri di tengah pintu dengan wajah berseri-seri menggunakan baju kerja. Neona mempersilakan masuk Mama lalu mereka berdua duduk berdampingan di pinggir kasur.
Benar saja, Mama memberitahukan bahwa besok adalah hari dimana pertemuannya dengan bakal calon suaminya yang entah siapa itu. Hati kecil Neona menolak dengan keras karena jujur saja ini terlalu mendadak. Namun, yang hanya bisa Neona katakan adalah…

“Aku besok bisa, kok, Ma. Kebetulan nggak ada bimbingan juga,” ujarnya lalu tersenyum simpul.

“Kalau gitu, siapin baju buat besok, ya. Mama buru-buru mau ke toko.” Mama mengecup kening Neona lalu melesat pergi ke toko perlengkapan rumah tangganya. Tidak tahu saja bahwa di balik kening itu ada pikiran-pikiran semrawut tentang masa depan. Katanya masa depan adalah tempat dimana banyak pilihan yang harus dihadapi. Namun bagi Neona, sejak kecil dia tidak perlu repot-repot memilih apapun karena Mama dan Papa sudah menyiapkan segalanya. Namun yang bikin repot, mau tidak mau, siap tidak siap, dia harus beradaptasi dengan pilihan itu.

Setidaknya, ada satu pilihan yang bisa Neona lakukan, yakni memilih gaun apa yang perlu dipakai pada saat pertemuan keluarga besok. Mix and match pun dilakukan bersama Nala via video call. Tak lupa, Neona menceritakan rencana pertemuan besok. 

“Gilak gilak gilak! Besok banget, nih? Gila, keukeuh banget nyokap lu buat nyari jodoh!” Begitu komentar Nala setelah mendengar cerita Neona. “Sukses, deh, buat perjodohan tuan puteri dan pangeran.!

Setelah mencoba belasan pasang baju dari lemari dan pertimbangan dari beragam referensi, akhirnya diputuskanlah outfit yang akan dikenakan besok. Kemeja santai berwarna ivory dan rok floral. Setidaknya pakaian yang Neona kenakan tidak membuat Mama keki saat bertamu keluarga bakal calon suami. Ah, berapa kali pun menggunakan frasa “bakal calon suami” malah membuat Neona merasa masa depannya sempit. 

Hingga esok pun tiba. 

Lamat-lamat, Neona memperhatikan setiap jengkal dirinya melalui kaca. Apa nggak kelihatan kuno, ya? Batinnya sambil menimbang-nimbang pakaian yang sudah dipertimbangkan berulang kali kemarin. Kemaja dan rok bunga-bunga itu malah membuatnya seperti akan menghadiri pesta ulang tahun bertemua 80’s. Setidaknya rambut half-up-nya membuat Neona tampak lebih segar dan cerah. Apalagi pilihan warna make-up natural itu mampu menutupi suasana hatinya yang tidak karuan. 

“Cantik banget anak Mama ini.” Entah sejak kapan Mama sudah ada di ambang pintu kamar, membuat Neona setengah terjingkat. Tapi ini pertanda baik karena Mama tidak berkomentar apapun. 

Oh iya, ia baru ingat. Gadis itu tidak harus menerima permintaan perjodohan ini. Pokoknya kalau rupa si laki-laki itu tidak mirip dengan L Infinite atau Iqbaal Ramadhan, jelas, Neona tidak akan menerimanya.

Setelah segalanya siap, Mama dan Neona berangkat naik CR-V marun ngejreng kesayangan Mama. 

“Kenapa nggak mereka aja yang ke sini?” Itu adalah kalimat pertama Neona setelah sepuluh menit perjalanan. Selama itu ia hanya menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Dalam hati ia menyesali kenapa dia harus repot-repot berdandan untuk orang yang tidak dikenal. 

“Orang tuanya dua-duanya sibuk. Jadi untuk saat ini kita yang ngalah ke sana,” jelas Mama sambil focus menyetir.

“Emang nggak apa-apa ya perempuan yang ngehampiri duluan?” tanya Neona hamper terdengar putus asa.

“Ya nggak apa-apa, dong, sayang. Khadijah aja yang duluan mau ngelamar Rasulullah. Kita kan cuma pertemuan keluarga biasa aja.”

Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Tatapan Neona kembali ke jalanan dengan badan yang terasa lunglai. Mungkin kah kalau Neona tidak mencoba-coba melakukan perkenalan dengan Vano, dia tidak akan terjebak pada situasi aneh seperti saat ini. Bahkan dia belum sempat mengobrol langsung, tapi konsekuensi yang harus Neona terima separah ini. Kalau punya ilmu menghilang sejenak dari bumi, Neona akan menggunakannya saat ini juga. Kalau bisa berteleportasi dia akan berpindah dalam satu detik ke restoran yang ada di depan sana.

Tunggu! Restoran?

Tubuh Neona seketika kembali tegap setelah bersandar dengan lesu tatkala melihat restoran yang baru saja dilewati. Ia mengedarkan pandangan ke kanan-kiri, memperhatikan jalanan dan bangunan-bangunan di pinggirnya. Restoran tadi mengingatkannya pada kenangan masa SMA, salah satu hal yang ia sesali setidaknya dalam waktu lima tahun terakhir. Saat-saat Neona menjalin hubungan pacaran dengan Kafka sampai dia rela menghabiskan waktunya dengan teman-teman Kafka yang menyebalkan itu, hingga dia berbohong pada Mama dan Papa sepulang les dengan alasan mengerjakan tugas kelompok, padahal main dengan pacarnya. 

Jelas jalanan ini tidak asing.

Mobil memasuki kawasan perumahan elit lima menit kemudian. Setelah dua belokan, mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah besar bercat abu-abu putih. Gerbang tingginya dibuka oleh seorang satpam berseragam yang melempar senyum ke Mama. Mobil terparkir di depan garasi yang terbuka dengan setidaknya tiga mobil di dalamnya. Seorang IRT yang tengah menyiram tanaman buru-buru masuk. Tak lama kemudian, dia kembali lalu mempersilahkan Mama dan Neona masuk-masuk. “Mari, Bu, mari, Mbak.”

Suara langkah kaki terburu-buru menyambut keduanya. Neona terbelalak sambil menutup mulut ketika tahu siapa yang berjalan menghampirinya dan Mama dengan wajah sumringah. Dia hampir tidak percaya apa yang dia lihat. 

“Eeeehh, halooooooo. Selamat datang, mari silahkan duduk dulu,” kata wanita itu. “Halo, apa kabar, Neona?”

Bu Restu?! Teriaknya dalam hati dengan badan kaku. Cepat-cepat Neona bersikap normal lalu tersenyum kikuk. Ia menoleh sesaat ke arah Mama sambil melempar tatapan penuh tanya. Mama hanya membalas dengan senyum sampai-sampai matanya menyipit. Ini bukan pertanda baik.

“Kok kaget gitu? Mamanya belum cerita, ya?”

Lagi-lagi Neona hanya tersenyum sambil mencerna apa yang sedang dialaminya saat ini. 

Tak lama, suami Bu Restu datang dengan pakaian rapi menyambut dengan baik. Entah apa yang dikatakannya, semua indera Neona seakan terkena gangguan karena seluruh daya dalam tubuhnya berfokus untuk memahami apa yang dialaminya ini. Perjodohan, Bu Restu, kejutan dari Mama, dan…

“Kafka!” Panggil suami Bu Restu.

KAKFA?!

Seorang laki-laki keluar dari salah satu pintu kamar di lantai satu dengan kemeja santai dan senyum cerah. Tidak salah lagi!

“KAFKA?!”

Semua orang yang ada di sana terdiam sambil menatap kebingungan ke arah Neona dengan wajah syoknya.

Pandangan Neona mendadak kabur, buram, samar-samar, menggelap, kemudian….

“NEONA?! Neonaaaa?!” 

Neona tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Neona pingsan! 

🍒🍒🍒

Hello AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang