POV : Kelana
Setelah mendapatkan pusaka keris Luyung Bang bukan berarti perjalananku dengan Angga untuk menyiapkan diri sebelum menjemput Anggita yang ditawan Bara Bawana selesai. Tugas berikutnya adalah menemukan sebuah sumber mata air di tepi Telaga Ngebel. Tempat itu bernama Kucur Bhatara, menurut cerita dari Pak Wanto, pancuran air itu dulunya digunakan oleh pendiri Kadipaten Ponorogo yaitu Bhatara Katong untuk menyucikan diri sebelum sembahyang di Goa Kumambang. Mata air itu kini tertutup oleh tabir gaib, dan itulah tugasku, menyingkap tabir gaib Kucur Bhatara dan mengambil airnya dalam wadah kamandalu.
"Ba..le.. ba...tur." eja Angga saat membaca sebuah plang kayu bertuliskan aksara jawa yang telah usang berdebu.
"Ooh ini yang namanya Bale Batur, kok kayak ndak terawat ya ?" Lanjut Angga sambil menggoyangkan tiang dari kayu yang telah termakan usia.
Sebuah bangunan rumah dari kayu berdiri dihadapanku dan Angga, rumah ini sepertinya sudah lama ditinggalkan. Semak belukar memenuhi halaman rumah ini, sulur sulur daun mulai menjalar ke beberapa sisi dinding rumah kayu itu. Apakah benar tempat ini Bale Batur, punden desa Ngebel yang disakralkan itu ??
"Sugeng siang mas." ucap seorang nenek yang tiba - tiba muncul entah dari mana datang menyambut kami.
"Su...sugeng siang mbah" jawabku gugup.
"Perkenalkan saya Nyai, saya tinggal disini. Siapa nama aden berdua ? Dan ada kepentingan apa sehingga aden kemari." Tanya nenek itu dengan tersenyum.
"Tepangaken nama saya Kelana, dan ini teman saya Angga. Kami kemari membawa sebuah tugas nyi." Jawabku yang langsung disambut senyuman oleh Angga.
"Sudah banyak mas orang kemari untuk mencari sumber mata air kucur bhatara, tapi belum ada yang mampu mendapatkannya karena belum mampu mengalahkan sang penjaga sumber mata air itu." Jelas Nyai sambil berjalan membuka rumahnya.
"Monggo pinarak mas, saya buatkan minum dulu!" lanjut Nyai sambil masuk ke rumahnya.
"Ngga, kayake kita bantu Nyai aja gak se buat bersihin sekitar rumahnya ?" Tanyaku pada Angga.
"Waah bener juga, kasian Nyai sudah sepuh harus bersihkan halaman seluas ini" jawab Angga menerima tawaranku.
Akupun menaruh tas diatas sebuah bale bambu di depan rumah nyai, sedangkan Angga mengambil sabit yang diselipkan pada bilah bambu di dinding rumah nyai. Kamipun membersihkan halaman rumah nyai yang dipenuhi rumput liar yang sudah mulai menjalar ke tiang rumah nyai. Tak berselang lama nyai keluar dengan membawa dua cangkir kopi dan menyuguhkan pada kami.
"Mas Kelana, mas Angga mari minum dulu!" ucapnya sambil mengangkat nampan.
"Inggih nyai" jawabku sambil mengangguk.
"Repot - repot saja mas membersihkan rumah nyai." ucap nyai sambil tersenyum menatap kami.
"Mboten nopo - nopo nyai, kalau liat njenengan saya jadi keinget nenek di rumah, mulai dari kecil saya tinggal sama beliau. Sayang, sebelum saya bisa membahagian, simbah sudah pergi terlebih dahulu" jawab angga sambil menunduk menahan tangis.
"Sabar ya mas Angga, nenek sampean pasti bahagia diatas sana melihat cucunya sudah sukses dan suka tetulung marang wong liyan." Jawab Nyai sambil mengelus pundak Angga.
Nyai bercerita beliau telah lama tinggal disini, sejak suaminya meninggal nyai hidup sendirian tanpa ada saudara dan anak yang tinggal bersamanya. Sebelum wafat, suami nyai berpesan agar nyai menyimpan lonceng yang merupakan pusaka untuk memanggil Naga Baru Klinting penjaga Telaga Ngebel. Telaga Ngebel adalah sebuah telaga alami yang terletak di lereng Gunung Wilis, konon telaga ini tercipta dari amukan bocah jelmaan Naga Baru Klinting yang menghukum warga desa yang memiliki perangai tak baik, dia menenggelamkan seisi desa bersama para penduduknya hingga desa itu menjadi telaga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Kelana
Teen Fiction"Jika memang Anggita adalah reinkarnasi dari Songgolangit, maka akulah Klono Sewandono nya. Akan ku rebut dia dari Bara Bawana, apapun resikonya" Kelana tak menyadari bahwa ia adalah reinkarnasi dari seorang raja di masalalu. Hatinya terpikat pada A...