19

241 40 14
                                    

Suasana di rumah sangat tegang. Taufan dibawa ke ruang tamu di mana Amato sudah menunggu dengan wajah marah. Mara hanya berdiri di sudut ruangan, menatap tanpa ekspresi.

"Taufan, apa yang sudah kamu lakukan kali ini?!" bentak Amato dengan suara keras yang menggema di seluruh ruangan. Taufan hanya bisa terdiam, tubuhnya gemetar ketakutan.

"Ayah, tolong percaya padaku. Aku tidak bersalah. Mereka yang membully aku," Taufan memohon, suaranya bergetar dan air mata mengalir di pipinya.

Namun, Amato tidak mendengarkan. Dia mengambil cambuk yang biasa digunakan untuk menghukum Taufan. "Saya malu punya anak murahan sepertimu!"

Tanpa peringatan lebih lanjut, Amato mulai mencambuk punggung Taufan. Rasa sakit yang tajam membuat Taufan menjerit dan jatuh bersimpuh di lantai.

"Ampun, Ayah! Tolong, aku tidak bersalah!" Taufan menangis putus asa, tubuhnya bergetar hebat. Namun, Amato tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Dia terus mencambuk dengan kemarahan yang menguasai dirinya.

Mara tetap diam di sudut, tidak bergerak untuk menolong anaknya. Matanya menatap dingin ke arah Taufan, seolah-olah tidak ada yang bisa dia lakukan. Ketika Taufan mencoba menatap mata ibunya, yang dia temukan hanyalah pandangan hampa tanpa belas kasihan.

Taufan dengan putus asa dan kesakitan memohon ampun, lalu bersimpuh dan memeluk kaki Amato. "Ayah, tolong hentikan. Aku benar-benar tidak bersalah," isaknya, tubuhnya bergetar dan air mata semakin deras.

Namun, permohonannya tidak menggoyahkan Amato sedikit pun. Cambukan kembali mendarat di punggung Taufan, membuatnya menjerit kesakitan.

"Atok, tolong! Tolong aku!" Taufan berteriak dengan segenap kekuatan yang tersisa, berharap kakeknya yang dirawat di rumah sakit bisa mendengar dan datang menolongnya. Tetapi, dia tahu itu sia-sia. Kakeknya terlalu jauh dan lemah untuk datang.

Suara cambukan memenuhi ruangan, diiringi jeritan Taufan yang semakin keras. "Ayah, tolong hentikan! Tolong!" Tangisannya semakin memilukan, namun Amato tidak berhenti.

Mara tetap diam, tidak ada niat menolong Taufan. Dia hanya menonton dengan pandangan kosong, seolah-olah adegan menyakitkan ini tidak berarti apa-apa baginya.

Amato terus mencambuk hingga akhirnya berhenti karena kelelahan. Dia meninggalkan Taufan yang tergeletak di lantai. Taufan menangis dan tubuhnya gemetar hebat. Hatinya hancur, tidak hanya oleh cambukan, tetapi juga oleh ketidakpercayaan dan dinginnya sikap kedua orang tuanya. Taufan merasa benar-benar sendirian di dunia ini.

"Atok... tolong aku," bisiknya sekali lagi, tapi suaranya hanya terdengar sebagai gumaman yang lemah.

Dengan susah payah Taufan berusaha bangkit dan berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Ketika sampai di kamar, dia tidak sengaja melihat dirinya di cermin. Taufan terkejut melihat hidungnya berdarah.

Air mata mengalir lebih deras saat dia menatap pantulan tubuhnya yang lemah dan penuh luka. "Aku tidak bersalah," bisiknya kepada diri sendiri.

Taufan akhirnya merangkak ke tempat tidurnya dengan tubuhnya yang lemah dan sakit. Malam itu, Taufan tertidur dengan tubuh terluka dan hati yang hancur, merasa bahwa tidak ada harapan atau keadilan untuknya. Dia merasa benar-benar sendirian di dunia ini. Sementara itu, Amato dan Mara melanjutkan malam mereka seolah-olah tidak ada yang terjadi.

•°•°•°•

Keesokan harinya, Blaze kembali hadir di sekolah. Dengan langkah cepat, Blaze menuju ke kelas berharap bisa segera bertemu dengan Taufan.

Ketika Blaze memasuki kelas, pandangannya langsung tertuju pada Taufan yang duduk di bangkunya. Namun, ada sesuatu yang aneh. Wajah Taufan terlihat pucat dan lelah seolah-olah sedang sakit.

He's My MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang