20

270 35 18
                                    

Hari ini adalah hari keberuntungan bagi Taufan. Amato menyuruhnya untuk menemani Tok Aba di rumah sakit karena kedua orang tuanya sedang sibuk, jadi tidak ada yang bisa menjaganya.

Sesampainya di rumah sakit, Taufan masuk ke kamar tempat Tok Aba dirawat. Tok Aba yang tampak lemah dan letih itu tersenyum ketika melihat cucunya datang.

"Bagaimana kabarmu, Taufan?" tanya Tok Aba dengan suara parau.

Taufan tersenyum lembut, "Aku baik-baik saja, Tok," jawabnya, mencoba terdengar meyakinkan.

"Apakah ayah dan ibumu melakukan sesuatu yang buruk kepadamu?"

Taufan menelan ludah, hatinya berdebar. "Tidak, Tok," katanya sambil menggeleng pelan.

"Atok, aku dituduh menggoda orang lain dan ayah mencambuk ku"

Sesungguhnya, cambukan itu masih terasa sakit di punggungnya meninggalkan jejak merah yang membara. Untuk tidur saja, Taufan harus dalam posisi miring agar tidak terlalu merasakan nyeri.

Tapi, Taufan memilih untuk tidak menceritakan kenyataan pahit yang baru saja dialaminya. Dia tidak ingin membebani pikiran kakeknya yang sudah tua dan sakit. Dia takut sakitnya akan semakin parah.

"Syukurlah, atok sangat khawatir padamu," ucap Tok Aba dengan perasaan lega.

Taufan hanya tersenyum. Mereka kemudian berbincang diselingi canda dan tawa, membuat suasana di ruangan itu sedikit lebih cerah. Tok Aba menasehati Taufan tentang kehidupan, memberi wejangan dan petuah bijak yang selalu dia bagikan. Di sela-sela percakapan, Tok Aba menatap Taufan dengan penuh kasih.

"Taufan, aku ingin kamu berjanji kepada atok."

"Janji apa tok?"

"Atok ingin kamu berjanji bahwa seberat apapun masalahmu, jangan pernah berpikir untuk bunuh diri. Hidup ini berharga, setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya."

Taufan terdiam, lalu mengangguk pelan. "Iya, Tok. Aku janji," jawabnya dengan suara lembut. Tok Aba tersenyum dan mengusap kepala Taufan.

Tiba-tiba Tok Aba teringat sesuatu,"Oh, atok lupa. Beberapa hari yang lalu atok sempat membeli hadiah untukmu."

Taufan mengerutkan kening dengan rasa penasaran,"Hadiah apa tok?"

Tok Aba tersenyum penuh rahasia,"Rahasia. Kamu ambil saja hadiahnya di kamar atok setelah pulang nanti."

Taufan pun mengangguk dan tersenyum lebar."Terima kasih banyak atok!" ucapnya dengan tulus.

Namun, sayangnya perbincangan mereka harus terhenti ketika seseorang mengetuk pintunya. Taufan pun membukanya dan melihat Mara, ibunya berdiri di depan pintu.

"Taufan, sudah waktunya pulang. Kamu harus belajar," ucap Mara setelah memasuki ruangan itu.

Dengan berat hati, Taufan pamit kepada Tok Aba. "Aku pulang dulu ya, tok," ujarnya sambil mencoba menyembunyikan kekecewaannya.

Tok Aba tersenyum dan mengangguk,"Iya, hati-hati di jalan."

Taufan tersenyum dan mengangguk, lalu dia berjalan keluar ruangan dengan perasaan campur aduk antara senang karena melihat Tok Aba dan kecewa karena harus pulang ke rumahnya.

Dalam perjalanan menuju rumah, perasaan Taufan terasa hampa dan kosong. Pikirannya masih dipenuhi dengan kondisi Tok Aba. Tanpa disadari dia menangis tanpa bersuara.

Sesampainya di rumah, Taufan langsung menuju ke kamar atoknya untuk mengambil hadiahnya. Di dalam kamar, Taufan melihat sebuah kotak besar berwarna biru dengan tulisan "Untuk Taufan" yang terpampang jelas. Tanpa ragu, Taufan mengambil kotak itu dan membawanya ke kamarnya dengan hati yang berdebar-debar.

He's My MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang