25

242 32 27
                                    

Beberapa bulan setelah pengakuan kehamilan Blaze dan Solar, Taufan semakin terpuruk dalam ujian mental yang berat. Setiap hari, dia harus menghadapi cibiran dan hinaan dari orang tuanya yang seakan tak pernah lelah membandingkan dirinya dengan Solar.

Amato dengan nada tajam dan penuh cemoohan, sering kali melontarkan kata-kata yang menusuk ke dalam hati Taufan. "Kapan kau memberi kami cucu? Apa gunanya hidup kalau kau  tidak bisa mengandung? Lihat Solar, baru menikah beberapa tapi langsung hamil." Kalimat itu menghantam Taufan seperti pukulan telak yang membuatnya terdiam tanpa mampu membalas.

Mara, tak kalah kejam. Dia menganggap Taufan sebagai anak yang tidak berguna, hanya menjadi beban dalam hidupnya. "Kau ini cuma beban, Taufan. Seandainya saja Solar anakku, mungkin aku sudah punya cucu dari dulu." Ucapannya tajam, menusuk jauh ke dalam hati Taufan, membuatnya merasa semakin kecil dan tidak berharga.

Taufan hanya bisa menunduk, menahan air mata yang nyaris tumpah. Dia tak punya nyali untuk membela dirinya. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak penurut, yang lebih memilih diam dan menerima segala caci maki yang dilontarkan padanya. Tak pernah ada keberanian untuk melawan atau sekadar mengutarakan isi hatinya.

Karena tidak tahan, tanpa berpikir panjang Taufan berbalik meninggalkan ruangan dengan langkah cepat. Mara berteriak memanggilnya menyuruhnya untuk kembali, namun Taufan mengabaikannya. Suara Amato yang penuh kemarahan terdengar jelas, tapi Taufan tidak peduli. Taufan membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan orang tuanya yang dilanda emosi.

Suatu hari, terjadi tragedi mengerikan yang menimpa Thorn. Saat sedang dalam perjalanan pulang setelah seharian bekerja, dia ditabrak sebuah truk besar yang muncul dari arah berlawanan. Tidak ada waktu untuk menghindar. Tabrakan dahsyat tak terelakkan terjadi.

Di detik-detik terakhir, dengan sisa kekuatan yang ada, Thorn meraih ponselnya dan menelepon Solar. Suaranya lemah dan terputus-putus, namun penuh dengan ketulusan dan harapan. "Solar... Aku ingin memberi nama anak kita... Sori..." Itulah kata-kata terakhir yang Thorn ucapkan sebelum panggilan itu terputus, bersama dengan hidupnya yang seketika berakhir.

Berita kematiannya menyebar dengan cepat, menghantam semua orang yang mengenalnya dengan kesedihan yang mendalam. Solar yang baru saja menerima kabar dari Thorn, hancur dalam tangisan. Semua orang berusaha menenangkan Solar, termasuk Halilintar, kakak Thorn itu segera datang untuk memberikan dukungan. Rasa duka menyelimuti keluarga dan orang-orang terdekatnya, seolah seluruh dunia turut berduka atas kehilangan yang begitu tiba-tiba ini.

Namun, di tengah semua kesedihan itu, Taufan merasakan sesuatu yang berbeda. Dia berdiri di sudut ruangan, mengamati semua orang yang larut dalam duka, namun dirinya sendiri tetap hampa. Tidak ada rasa kasihan melihat Solar yang sedih dan menangisi kepergian suaminya. Taufan bahkan merasa bingung dengan perasaannya sendiri.

Taufan mulai merenung, mencoba mencari jawaban di balik kekosongan yang dia rasakan. Mungkin, pikirnya ini semua karena kebencian yang selama ini dia pendam. Kebencian yang begitu dalam, telah mengikis rasa kasih dan empati di hatinya. Jadi, ketika Solar sedih, Taufan hanya merasakan kehampaan. Tidak ada kesedihan, tidak ada rasa kasihan. Hanya kekosongan yang membeku, seperti dinding es yang tak tertembus di dalam hatinya.

Beberapa hari setelah tragedi yang menimpa Thorn, kehidupan perlahan kembali ke rutinitas harian, meskipun bayang-bayang duka masih melekat erat di hati Solar. Solar sering kali mendapati dirinya termenung, merenungi masa depan anaknya yang akan segera lahir, bayi kecil yang telah Thorn beri nama Sori. Bayangan Sori tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah sering kali menghantuinya. Solar merasa kasihan pada Sori yang belum lahir tapi sudah harus menghadapi kehilangan yang begitu besar. Bagaimana dia bisa menjelaskan kepada Sori suatu hari nanti bahwa ayahnya tidak akan pernah ada untuk memeluknya, atau untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan polosnya?

He's My MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang