24

188 32 6
                                    

Suatu hari, terjadi pertengkaran besar antara Taufan dan Halilintar. Taufan muak dengan sikap Halilintar.

"Halilintar, aku sudah tidak tahan lagi dengan sikapmu! Mengapa kau terus mengabaikan aku?" seru Taufan.

Halilintar yang duduk di sofa, hanya menatap Taufan dengan dingin. "Kau tidak mengerti, Taufan. Kau tidak pernah mengerti."

Taufan tidak puas mendengar jawaban itu. "Bagaimana aku bisa mengerti sementara kau tidak menjelaskan apapun kepadaku!"

Halilintar bangkit dari sofa, menatap Taufan dengan mata penuh kemarahan dan keputusasaan. "Kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi? Baiklah, aku akan memberitahumu. Aku malu! Aku malu karena kedua adikku sudah dikaruniai anak, sementara kita yang menikah lebih awal belum juga mendapat keturunan. Semua orang melihat kita dan bertanya-tanya kapan kita mempunyai anak!"

Taufan terkejut mendengar kata-kata Halilintar. "Jadi, ini semua tentang tidak memiliki anak? Itu sebabnya kau bersikap seperti ini? Bukankah dulu kau bilang akan mencintaiku apa adanya?"

Halilintar menggelengkan kepala, frustrasi. "Aku sebenarnya tidak pernah mencintaimu, Taufan. Semua ini hanyalah pura-pura demi menjaga nama baik keluargaku. Aku berpura-pura mencintaimu agar orang-orang tidak berbicara buruk tentang kita."

Kata-kata Halilintar menghantam Taufan seperti pukulan telak. Dia merasa dunianya hancur seketika. "Kau… tidak pernah mencintaiku?" Taufan berbisik, hampir tidak bisa percaya dengan apa yang didengarnya.

"Benar," kata Halilintar dengan tegas, tidak ada kilatan penyesalan di matanya. "Selama ini aku hanya berpura-pura."

Air mata mulai mengalir di wajah Taufan. "Bagaimana kau bisa begitu kejam? Aku mencintaimu dengan sepenuh hati dan kau hanya berpura-pura selama ini?"

Halilintar menatap Taufan dengan dingin. "Iya, mungkin jika kau bisa memberikan anak aku bisa berubah. Tapi lihat, kita tidak punya anak hingga sekarang. Jangan-jangan kau itu mandul."

Perkataan itu membuat Taufan merasa seperti ditusuk pisau. Rasa sakit dan penghinaan bercampur menjadi satu. "Kau benar-benar tega Halilintar. Kau tega!"suara Taufan gemetar, matanya sudah dipenuhi air mata.

Halilintar menghela napas panjang. "Aku lelah. Aku butuh waktu sendiri." Tanpa menunggu jawaban, Halilintar berbalik dan meninggalkan Taufan sendirian dengan hati yang hancur berkeping-keping.

Taufan jatuh terduduk, menangis terisak-isak di ruang tamu yang dingin dan sunyi. Semua cinta dan harapan yang pernah dia miliki terasa hilang dalam sekejap. Pertengkaran ini tidak hanya mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan, tetapi juga menghancurkan hatinya.

•°•°•°•

Suatu hari, keluarga besar berkumpul untuk makan malam bersama. Suasana riang dan penuh tawa mengisi ruangan, namun Taufan merasa cemas, takut topik sensitif akan muncul. Setelah makan malam selesai, Mara tiba-tiba mengangkat topik yang membuat Taufan tidak nyaman.

"Taufan, kapan kamu dan Halilintar akan memiliki anak? Lihat, Blaze dan Solar belum lama menikah, tapi mereka sudah dikaruniai anak. Sementara kamu dan Halilintar yang sudah lama menikah belum juga mengandung."

Taufan merasakan gelombang ketidaknyamanan dalam dirinya, namun dia berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. Dengan hati-hati, Taufan mencoba menjawab dengan sopan.

"Ibu, kami sudah berusaha," kata Taufan dengan suara tenang. "Mungkin belum waktunya bagi kami untuk memiliki anak. Kami masih berusaha dan berharap yang terbaik."

Mara tampak tidak puas dengan jawaban itu dan terus mendesak. "Tapi Taufan, kamu tahu betapa pentingnya memiliki keturunan dalam keluarga. Blaze dan Solar sudah punya anak, mengapa kalian belum juga? Apakah ada sesuatu yang salah?"

Taufan tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. "Ibu, terima kasih atas perhatianmu. Namun, ini adalah masalah yang harus kami selesaikan sendiri. Tolong berikan kami waktu."

Namun, Mara tidak berhenti di situ. "Tapi bagaimana jika kalian memang tidak bisa memiliki anak? Bayi tabung saja gagal, buang-buang duit."

Setiap kata yang diucapkan Mara terasa seperti duri yang menusuk hati Taufan. Akhirnya, merasa tidak tahan lagi, Taufan berpura-pura izin ke toilet. "Maaf, Ibu, saya harus ke toilet sebentar," katanya dengan suara pelan.

Kirana yang duduk di sebelah Mara merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut. Dia menyenggol pelan lengan Mara dan berbisik, "Mara, seharusnya kau tidak berbicara seperti itu kepada anakmu sendiri."

Namun, Mara tampak tidak peduli dengan teguran Kirana. Dia mengangkat dagunya sedikit dan menjawab dengan suara rendah tapi tegas, "Kirana, seorang anak harus bisa memberikan keturunan kepada pasangannya dan cucu untuk orang tuanya. Jika tidak, maka itu bisa menjadi aib."

"Kata siapa itu aib? Kata orang-orang kolot yang jika berumahtangga harus memiliki anak gitu? Jika tidak mampu memberikan keturunan langsung dihina dengan kata-kata tidak etis? Padahal Taufan anakmu sendiri tapi omonganmu benar-benar..."

Kirana tidak habis pikir dengan Mara. Padahal dia sendiri tidak masalah jika Taufan belum bisa memberikannya cucu.

Balze sendiri hanya bisa diam. Ingin sekali dia membela sahabatnya tapi tidak berani apalagi menurut Blaze, wajah Mara seperti orang ngutang tapi galak saat ditagih. Sementara Halilintar tidak peduli dan memilih memainkan handphonenya.

Di toilet, Taufan menutup pintu dan bersandar pada wastafel, air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Dia menangis tanpa suara, merasa beban berat dan tekanan yang luar biasa menghimpitnya. Rasa sakit dan kesedihan yang selama ini dia coba sembunyikan akhirnya meluap.

Dengan hati yang hancur, Taufan hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti akan dikaruniai anak dan dia tidak perlu lagi merasakan tekanan seperti ini. Namun untuk saat ini, dia hanya bisa menangis dalam kesendirian.

•°•°•°•

Waktu menunjukkan tengah malam. Taufan belum kunjung tidur, pikirannya terbayang oleh perkataan ibunya sendiri. Dia berbaring di tempat tidurnya, matanya menatap langit-langit kamar yang gelap. Setiap kata-kata ibunya seakan terukir dalam pikirannya, menambah beban yang sudah dia rasakan.

Ketika akhirnya Taufan tertidur, pikirannya tidak tenang. Dia bermimpi sedang berada di sebuah taman yang indah. Di tengah taman, ada seorang anak kecil yang berlari ke arahnya dengan senyum lebar. Anak kecil itu memanggil Taufan dengan sebutan "mama," suaranya penuh keceriaan dan kasih sayang.

"Mama, ayo main!" seru anak kecil itu sambil menggenggam tangan Taufan. Taufan merasakan sentuhan hangat tangan anak itu dan hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang luar biasa. Dia tertawa, bermain, dan merasa sangat hidup.

Anak kecil itu kemudian memeluk Taufan erat-erat. "Aku sayang Mama. Tunggu aku ya Mama," bisiknya lembut.

Saat Taufan terbangun, dia menyadari bahwa pipinya basah dengan air mata. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu dekat dengan hatinya. Dia duduk di tempat tidurnya, memeluk lututnya dan membiarkan air matanya mengalir. Perasaan keinginan memiliki anak, rasa kesepian, dan tekanan dari keluarganya bercampur menjadi satu membuatnya merasa sangat rapuh.

Dalam keheningan malam itu, Taufan berusaha mencari kekuatan dalam dirinya. Dia tahu bahwa perjuangan ini belum berakhir, dan dia harus tetap tegar. Namun, di saat yang sama, dia tidak bisa menahan rasa sakit dan kerinduannya untuk memiliki seorang anak.

Dengan hati yang masih berat, Taufan berdoa dalam hati, berharap suatu hari nanti dia dan Halilintar akan diberkati dengan seorang anak. Dia berusaha menenangkan dirinya, mengingat bahwa dalam setiap kesulitan, selalu ada harapan. Tapi untuk saat ini, Taufan hanya bisa menunggu dan berharap dengan air mata yang terus mengalir, hingga akhirnya dia kembali tertidur dengan perasaan yang bercampur aduk.














Bersambung

He's My MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang