Rolan tidak memegang handphonenya sama sekali hari itu. Seharian, dia hanya menonton film dan keluar untuk jogging atau membeli cemilan. Meskipun begitu, hatinya masih berantakan dan belum bisa menerima sepenuhnya tentang kematian Jevan. Sore harinya, saat sedang duduk di bangku taman dekat rumahnya, Rolan teringat akan Bi Surti, tetangganya yang pernah kehilangan adik satu-satunya.
Dengan langkah mantap, Rolan berjalan menuju rumah Bi Surti. Saat sampai di sana, dia mengetuk pintu dan disambut hangat oleh Bi Surti.
"Mas Rolan, kenapa masih diluar udah mau gelap loh? Masuklah," ajak Bi Surti sambil tersenyum.
Setelah duduk di ruang tamu, Rolan mulai bercerita tentang perasaannya. "Bi, saya masih belum bisa nerima kematian Jevan. Saya merasa bersalah karena nggak bisa bantu dia lebih banyak. Dulu Bi pernah cerita soal kehilangan adik Bi. Gimana Bi bisa ikhlas?"
Bi Surti tersenyum pahit, mengenang masa lalu yang penuh duka. "Kehilangan orang yang kita sayang itu berat, berat banget malah mas. Waktu adik Bi meninggal, Bi juga merasa sangat kehilangan. Tapi Bi tahu, dia pasti nggak mau lihat Bi terus bersedih. Kehidupan harus terus berjalan."
Rolan mendengarkan dengan seksama. "Tapi Bi, saya merasa bersalah. Saya ngerasa belum bisa jadi teman yang baik buat Jevan."
"Mas Rolan, setiap orang punya batasannya masing-masing. Yang penting, kita sudah berusaha yang terbaik. Adik Bi dulu juga begitu. Dia selalu bilang kalau dia bahagia punya kakak seperti Bi, meskipun Bi nggak bisa selalu ada untuk dia. Yang penting adalah kenangan dan cinta yang kita berikan, bukan seberapa sering kita bisa bersama," ujar Bi Surti dengan bijak.
Rolan meresapi kata-kata Bi Surti, merasa sedikit lega. "Jadi, menurut Bi, saya harus gimana?"
"Tetaplah hidup, mas Rolan. Teruskan apa yang temen mas ingin lihat dari mas. Jadilah yang terbaik buat diri kamu sendiri dan orang-orang di sekitar kamu. Mas Jevan pasti bangga punya sahabat seperti kamu," kata Bi Surti sambil menepuk pundak Rolan.
Setelah mendengar cerita Bi Surti, Rolan merasa lebih tenang. Dia mulai menyadari bahwa bersedih terus-menerus tidak akan mengubah apapun. Dengan hati yang lebih ringan, Rolan berterima kasih kepada Bi Surti dan memutuskan untuk kembali ke akademi esok hari.
Malam itu, sebelum tidur, Rolan akhirnya membuka handphonenya dan melihat pesan-pesan dari teman-temannya. Dengan senyuman kecil di wajahnya, dia membalas pesan mereka, memberitahu bahwa dia akan kembali esok hari. Rolan tahu, langkah ke depan mungkin tidak akan mudah, tetapi dia siap untuk menghadapi semuanya dengan kekuatan dan kenangan yang dia miliki dari Jevan.
Sebelum tidur, orang tuanya, Evelyn dan Hevan, mendatangi kamar Rolan. Evelyn mengetuk pintu perlahan, dan saat Rolan mengizinkan mereka masuk, mereka melangkah masuk dengan hati-hati.
Hevan duduk di sebelah Rolan, merangkulnya. "Rolan, kami dapat pesan dari akademi. Kamu diterima masuk ke asrama."
Rolan tersenyum kecil. "Iya, Pa, Ma. Rolan udah tahu dari Jorell. Dia ngasih tahu tadi lewat pesan."
Evelyn mengangguk, mengambil tangan Rolan. "Kami juga sekalian mau pamit, sayang. Kami harus bekerja dalam waktu yang cukup lama. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi kami tahu kamu kuat dan bisa menjaga diri."
Rolan terdiam sejenak, baru menyadari betapa besarnya perubahan yang akan terjadi. "Iyaa Rolan ngerti, Ma, Pa. Rolan bakal baik-baik aja kok, kan udah besar juga anak kalian mau legal nih hehe jadi gaperlu sekhawatir itu."
Hevan menatap anaknya dengan bangga. "Kami bangga punya anak seperti kamu, Rolan. Kamu sudah bisa mengendalikan kemampuanmu dengan baik. Dan kami tahu kamu sedang berduka karena kehilangan Jevan. Itu sebabnya kami setuju kamu tidak masuk akademi hari ini. Kami ingin kamu punya waktu untuk menenangkan diri."

KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Kematian [ SELESAI ]
TerrorRolan adalah seorang individu yang dilahirkan dengan kekuatan luar biasa yang melebihi batas manusia biasa. Sejak usia muda, dia menyadari bahwa dia memiliki kemampuan unik untuk berinteraksi dengan makhluk gaib dan melihat kejadian masa depan, teru...