"Elleza!"
Jacob menghampiri putrinya yang kini sudah dipeluk oleh Isabella. Punggung putrinya bergetar hebat, dan itu tandanya, Elleza sedang menangis. Air mata itu, air mata yang tak terbendung, air mata yang meluap dari luka lama yang tak kunjung sembuh.
Hati Jacob hancur memandangnya. Dengan segera, dia mengambil alih putrinya, menangkup kedua pipi wanita itu yang kini sudah terasa lembab karena air mata.
"Putriku sayang," bisik Jacob dengan mata berkaca. Suaranya bergetar, sarat dengan rasa sakit yang sama yang menggerogoti hati Elleza.
"Pria itu ... a-aku ingin dia mati," bisik Elleza penuh dendam. Air matanya kembali mengalir. Bukan air mata palsu, tapi air mata sungguhan. Perasaan sedih, marah dan kecewa yang dia rasakan itu nyata, membakar jiwanya seperti api yang tak terpadamkan.
Rasa sakit dimasa lalu, masih dia rasakan sampai saat ini. Tentang betapa tersiksanya ia menanggung semua kebencian ini. Juga penyesalan tentang ia yang memilih bunuh diri saat itu, sebuah keputusan yang diambil dalam keputusasaan, sebuah keinginan untuk menghentikan rasa sakit yang tak tertahankan.
Meski bertingkah seolah dia telah lupa segalanya, pada kenyataannya Elleza hanya bisa memendam. Menahan semua kesedihan dan kekecewaannya dimasa lalu, seperti sebuah beban berat yang terus dia pikul di pundaknya.
"Ayah, tolong ... balas segalanya," mata Elleza mulai memerah, kedua tangannya pun bergetar. "Aku tidak sanggup ...," suaranya terengah-engah, seperti sebuah jeritan yang tertahan di tenggorokannya.
Jacob mengangguk dengan pandangan pilu. Dia membawa Elleza dalam dekapannya. Mengelus rambut yang telah lama tak ia sentuh, rambut yang dulu lembut dan penuh keceriaan, kini terasa dingin dan rapuh. "Maafkan Ayah ...," bisiknya, suaranya tercekat oleh rasa bersalah yang tak terlupakan.
Isabella memandangi mereka berdua dengan pandangan sayu. Hatinya ikut sakit saat melihat Elleza menangis sampai seperti itu. Dia merasakan kesedihan yang sama yang pernah dia rasakan, kesedihan yang hanya bisa dipahami oleh orang yang pernah merasakan luka yang sama.
Sedangkan tak jauh dari mereka, mata Louis hanya terpaku pada punggung Isabella. Perasaan takut semakin dia rasakan saat melihat pertunjukan tak terduga tadi. Dia takut, jika Isabella juga melakukan hal yang sama seperti Elleza. Apakah ... Louis akan sanggup saat itu terjadi?
***
Beberapa hari telah berlalu semenjak acara pertunangan Elleza yang batal itu terjadi, meninggalkan jejak kekecewaan dan kepedihan yang masih terasa di udara.
Isabella dan Louis sudah kembali ke Berlin, membawa serta beban berat yang tak terucapkan. Kedua orang tua Isabella juga telah kembali ke rumah mereka, meninggalkan Louis dan Isabella untuk menghadapi kenyataan pahit yang baru saja mereka alami.
Seperti hari-hari biasanya, Louis sedang berada di kantornya, sebuah ruangan yang dingin dan steril, tempat dia berusaha menenangkan pikirannya yang kacau.
Berbagai berkas tertumpuk di meja kerjanya, seperti gunung es yang siap menenggelamkannya. Dan dengan setia, Javid, asistennya yang tepercaya, berdiri di sampingnya, memberikan penjelasan yang sabar dan rinci saat Louis bertanya.
Mata Louis dengan seksama membaca setiap kata dari berkas dihadapannya, tangannya tak henti-hentinya mencoret-coret kertas, seperti seorang seniman yang berusaha menggoreskan rasa sakit dan kekecewaan di atas kanvas putih.
Hingga kemudian, matanya terpaku pada satu berkas, dimana sampul berkas itu tertera nama sebuah perusahaan yang amat dia kenali, sebuah nama yang membawa kenangan pahit dan rahasia yang terpendam.
Dynamics–Q
Louis ingat betul, bagaimana dimasa lalu, ia berhasil mempergunakan perusahaan yang lumayan besar itu. Membuat perusahaan tersebut berada dibawah kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE; Rebirth Of The Villaines || END
FantasíaLouis merupakan seorang antagonis dalam ceritanya sendiri. Dia dengan tega menelantarkan Istrinya, Isabella, beserta anak-anaknya dan mengkhianati mereka. Seharusnya, dia sudah mati dalam kecelakaan setelah memergoki selingkuhannya menjalin kasih de...