Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam sekarang, setelah puas bermain seharian dan mandi, mereka berkumpul di ruang keluarga untuk makan malam, mereka tidak makan di meja khusus makan karena tidak ingin terlalu formal. Lagi pula makan malam hari ini hanya ada kentang dan beberapa cemilan lainnya, tidak ada makanan berat.
"Pengen sate deh, ada yang mau sate gak?" Adel meraih ponsel, ingin memesan sate karena ia sedang tidak berselera makan kentang. "Enak kayanya sate sama lontong."
Ara dan Oniel saling pandang kemudian tertawa keras, menertawakan kekonyolan Adel. Apa Adel lupa bahwa mereka sedang berada di tengah pulau? Bagaimana bisa Adel memesan sate?
"Ni orang belum minum tapi udah mabok, gue curiga dia gini karna gak nge-"
"-Aku boleh minta tolong, Pa? Aku pengen sate tapi aku lagi ada di pulau, boleh minta tolong penjaga Papa nganterin pake helikopter? Gak jauh kok dari kota." Kalimat Adel langsung membuat tawa mereka bungkam.
"Boleh, mau berapa, sayang? Mau pesen apalagi? Mumpung belum terlalu malem."
"150 tusuk cukup kayanya, Pa, aku mau lontongnya juga. Eh bentar, Ca, mau makanan?" Adel menatap Marsha, Marsha menggeleng karena persediaan makanan di sini sudah cukup banyak. Adel beralih pada Ashel, "Cel, would you like something to eat?"
"Sate juga tapi pengen taichan aja boleh gak?" Ashel menunjukan senyumannya. "Terima kasih," lanjutnya setelah melihat Adel mengangguk.
"Pa, sate biasanya 100 aja, sisanya taichan, udah aja kayanya." Adel tidak peduli mereka mendelik tajam kepadanya karena tidak ditawarkan sesuatu secara khusus seperti Ashel dan Marsha.
"Cel siapa, nak?"
Ekspresi wajah Adel sedikit berubah mendengar pertanyaan Angkara, Adel bersandar di sofa. "Temen," jawabnya sangat malas.
"Kamu anak Papa loh, Papa bisa bedain nada suara kamu ke orang yang kamu suka sama ngga kaya gimana. Mau sampe kapan gini? Kamu mau ngikutin jejak Mama kamu? Nikah di luar negeri?"
"Papa dari kecil gak pernah urusin aku kok akhir-akhir ini ngurusin banget ya? Bisa berenti kan? Kirim aja satenya ya? Aku sayang Papa, salam buat tante Naomi." Adel mematikan panggilan dan menyimpan ponselnya di atas meja. Suasana sangat canggung untuk beberapa detik karena tentu saja mereka mendengar apa yang diucapkan oleh ayah Adel.
"Wiih gila beneran dikirim." Oniel lebih dulu mencairkan suasana. Melihat kekayaan Adel yang sebanyak itu Oniel jadi semakin heran kenapa Adel mau bekerja di perusahaan kecil hanya untuk mengejar perempuan macam Marsha.
Azizi memandangi Adel cukup lama, jika seperti ini ceritanya, mustahil ia bisa bersaing dengan Adel, Adel punya banyak harta yang disukai semua orang, sementara ia tak memiliki apapun selain hutang. Azizi meraup kentang menggunakan kedua tangannya sekaligus dan melesakannya dengan paksa ke dalam mulut. Setelah ini, Adel bukan hanya akan mengambil Marsha, tetapi Ashel juga.
"Hati-hati, babe." Ashel sedikit bingung karena tidak biasanya Azizi makan dengan cara sekasar itu.
Ara dan Oniel kembali saling pandang, Oniel mengangkat kedua alis, seakan mengatakan bahwa Azizi sedang cemburu, sementara Ara hanya mengangguk sambil tertawa kecil. Kadang memang sangat menyenangkan memperhatikan mereka.
"Aku pegel duduk di karpet ah." Marsha mengeluh dan akhirnya berdiri, memandangi lima orang yang sedari tadi egois duduk di sofa sementara dirinya di bawah.
"Tukeran aku di baw-" Adel menggantungkan kalimatnya saat Marsha menahan tubuhnya.
"Dipangku aja boleh?"
Chika menyemburkan minuman yang diteguknya karena ucapan Marsha. Chika membersihkan sisa minum di bibirnya kemudian menatap Marsha, Marsha malam ini sepertinya akan kembali berusaha untuk mendapatkan sentuhan Adel. Marsha memang gadis tidak jelas.
![](https://img.wattpad.com/cover/357666586-288-k604646.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARA
FanfictionApa yang lebih sulit selain menjalin hubungan dengan seseorang yang masih terikat oleh masa lalunya?