BAB 23: Impian

113 5 0
                                    

Begitu tiba di flat, Lizzy menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Kaki terasa begitu sakit dan pegal, terutama di bagian betis dan tumit. Terlihat ujung jempol dan kelingking kedua kakinya memerah karena tertekan sisi sepatu, setelah berdiri lama.

"Bagaimana hari pertamamu bekerja, dear?" tanya Clemmie sambil melihat jari kaki Lizzy yang memerah.

"Seperti yang kau lihat, Clemmie," ucap Lizzy menunjuk ke arah kakinya.

Dia mengoleskan krim untuk meredakan nyeri dan mencegah radang kulit.

"Semoga saja besok radang ini tidak memburuk." Lizzy terlihat meniup kakinya.

"Sebaiknya kau membeli sepatu yang lebih nyaman lagi dari itu, Liz. Paling tidak yang terbuat dari bahan kulit berkualitas bagus, jadi kakimu tidak akan terasa sakit seperti itu." Clementine mengerutkan wajah, seakan kakinya yang sedang sakit.

Terdengar suara bel.

Clemmie bergegas berjalan ke arah pintu. Dia melihat melalui celah intip. Pintu segera dibuka, setelah tahu orang yang ada di balik sana.

"Good evening, Clem," sapa Henry begitu pintu terbuka.

"Good evening, Henry," balas Clemmie sambil bergeser ke kanan agar Henry bisa masuk.

"Lizzy sudah pulang?" Henry mencari keberadaan Lizzy.

Clementine menunjuk ke arah Lizzy yang masih mengolesi krim sambil meniup jari kaki kiri.

"Hi Liz. You alright?" Henry terlihat cemas melihat jari kaki Lizzy merah.

Lizzy tidak menjawab, hanya menunjuk ke arah kaki yang baru selesai diolesi krim.

"Get well soon, Liz," ucap Henry dengan raut wajah sedih.

Henry terdiam beberapa saat melihat wajah cantik Lizzy yang mampu membuat hatinya bergetar. Meski begitu, ia tidak berani menyatakan perasaan pada wanita muda itu. Rasa takut akan penolakan, membuatnya menyimpan rapat perasaannya. Pria itu lebih memilih mempertahankan persahabatan di antara mereka daripada mengungkapkan rasanya.

"Well, I have a good news for you." Henry mengeluarkan sebuah brosur dari tas kerjanya. Pria itu segera ke flat Clementine begitu pulang dari kantor.

Lizzy mengerutkan kening dan menerima brosur yang diserahkan Henry. Terlihat tulisan University College London. Wajahnya langsung berbinar ketika tahu itu adalah brosur universitas yang telah dijanjikan Henry sebelumnya.

"Thank you, Henry," ucap Lizzy memegang tangan Henry sambil tersenyum.

"Temanku mengatakan, universitas itu sangat bagus dan memiliki program khusus untuk mahasiswa yang bekerja. Tapi biayanya sedikit lebih mahal dibandingkan dengan program biasa," jelas Henry.

Lizzy menganggukkan kepala dengan mata masih membaca brosur itu. Dia melihat biaya pendaftaran dan rincian biaya lain yang cukup mahal. Wanita itu menghela napas dan menengadahkan kepala ke atas, melihat langit-langit flat.

"Apa kau menanyakan kapan pelunasan biaya awal?" cetus Lizzy cemas.

Dia khawatir jika tabungannya tidak cukup untuk membayar lunas biaya awal seperti pembangunan, semester, dan biaya lainnya.

"Kau bisa melunasinya di bulan ketiga, Liz. Setidaknya itulah yang dikatakan temanku. Kau hanya perlu mendaftar terlebih dahulu. Karena ini adalah program khusus, kuliah baru akan dimulai dua bulan lagi. Kau tidak perlu khawatir."

Wanita itu mengembuskan napas lega. Dia masih memiliki waktu untuk mengumpulkan uang terlebih dahulu. Ya, meski tabungannya lebih dari cukup, tapi sebagian uang itu akan digunakan untuk membayar kembali biaya perawatan dan persalinan beberapa bulan yang lalu. Lizzy masih ingat dengan uang tuan Brown.

Lelaki yang MenghamilikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang