Kate memerhatikan Mary secara saksama. Dia melihat sahabat lamanya itu dan mencoba menyelami apa yang ada di hatinya.
"Sekarang ceritakan kepadaku. Apa yang terjadi kepadamu saat itu, Mary? Kenapa kau pergi meninggalkan, Sean?" tanya Kate.
Mary terdiam, menatap nanar Kate. Matanya kembali merespon kenangan yang kini melintas di pikirannya. Terlihat gurat kesedihan yang tidak bisa ditutupi lagi.
"Istri pertama Sean tahu tentang keberadaanku, Kate. Dia memintaku untuk meninggalkannya atau Sean akan mendekam di penjara." Mary mulai bercerita.
Kate membesarkan mata mendengar ucapan Kate. "Aku tidak menyangka dia sampai mengancam seperti itu, Mary."
"Aku hanya diberikan dua pilihan saat itu, sehingga aku memilih pilihan terbaik untuk Sean. Aku tahu posisiku salah, tidak seharusnya aku hadir di antara mereka, Kate. Aku begitu mencintai Sean, sehingga tidak ingin memberikan kesulitan untuknya." Mary menatap sendu ke arah Kate.
"No, Mary. Itu bukan salahmu, dear. Kau tidak tahu bahwa Sean telah menikah, sehingga ia memalsukan dokumen seperti itu." Kate meraih tangan Mary dan menepuknya pelan.
"Andai saja aku tahu dia telah memiliki anak dan istri, aku tidak akan menikah dengannya, Kate." Air mata menetes satu per satu di pipi Mary.
"Berhentilah menangis seperti itu, Mary. Ingat! Ini semua bukan salahmu dan juga bukan salah Sean. Kalian hanya bertemu di saat yang tidak tepat." Kate menghela napas. "Apa kau tahu dia begitu sangat mencintaimu, Mary? Bahkan dia memilih hidup menyendiri setelah kepergianmu."
"Apa maksudmu, Kate?" tanya Mary melihat mata Kate secara bergantian.
"Aku mendengar kabar tentang bagaimana sulitnya keadaan Sean setelah kepergianmu. Dia mencarimu ke mana-mana, tapi kau tidak ditemukan. Dia juga meminta bantuan suamiku untuk mencarimu, tapi tetap tidak berhasil. Setelah mengetahui suamiku juga tahu tentang hubunganmu dan Sean, istri pertama Sean memintanya untuk menghentikan kerja sama bisnis perusahaan. Saat itu aku tidak lagi bertemu dengan Sean dan tidak tahu bagaimana kabarnya. Hingga aku mendapatkan kabar, dia telah meninggal dunia karena mengidap penyakit gagal fungsi hati," cerita Kate panjang lebar.
"Gagal fungsi hati?" Mary menatap tidak percaya.
"Yes, dear. Aku mendengar dari asistennya, tuan Charteris. Dia bilang Sean selalu minum alkohol setiap malam. Hidupnya benar-benar hancur setelah kepergianmu. Setiap hari ia merindukanmu, Mary." Kate menatap sendu ke arah Mary.
Bibir Mary terlihat bergetar, perlahan terbuka mengembuskan napas yang terasa sesak. Sklera mata terlihat memerah. Hatinya seperti tercabik-cabik, terasa pilu tak tergambarkan.
Kate memeluk sahabatnya itu, memberikan tepukan pelan yang menenangkan.
"Sekarang ceritakan kepadaku, ke mana saja kau setelah pergi dari London? Aku yakin kau tidak segera kembali ke Dunster, karena Sean dan suamiku telah mencarimu ke sana berkali-kali. Ke mana kau bersembunyi, Mary?" tanya Kate setelah melihat Mary mulai tenang.
"Aku berpindah-pindah, Kate. Sebelum menetap di Dunster, aku berpindah dari satu kota dan desa ke kota dan desa lainnya. Hingga saat Lizzy berusia lima tahun, aku membawanya kembali ke Dunster. Ketika dia sudah masuk sekolah, tidak mungkin lagi bagiku untuk berpindah tempat. Sejak saat itu aku menetap di sana." Mary bercerita.
"Bagaimana bisa kau melaluinya dengan kuat, Mary? Kau dan Elizabeth adalah wanita-wanita yang hebat. Oh, aku sangat menyukai putrimu."
"Terima kasih telah menerima Lizzy dengan baik dalam keluargamu, Kate. Aku benar-benar mengkhawatirkannya saat tahu ia ingin bekerja ke London. Tapi aku bersyukur dia bisa bertemu dengan Daniel di sini," ucap Mary.
Kate menganggukkan kepala. "Awalnya aku sedikit curiga setelah mendengar cerita tentang Elizabeth dari Daniel. Tapi aku ingin memastikan kembali apakah dia benar Elizabeth Eiden yang pernah kutemui saat masih kecil. Ternyata benar, dia adalah putrimu, Mary."
Mary menghela napas berat. "Lizzy belum tahu tentang siapa dia sebenarnya, Kate. Dia tidak tahu siapa ayah kandungnya. Aku merasa bersalah telah membuatnya melalui masa kecil dengan berat."
Wanita itu menyeka air mata yang turun satu per satu di pipinya.
"Apa kau akan menetap di London?" tanya Kate.
"Yeah. Daniel memintaku untuk menemani Lizzy di sini. Selain itu Aaron juga membutuhkan mereka berdua."
"Aku sangat senang kau ada disini, Mary. Setidaknya aku tidak lagi kesepian. Ada kau dan Aaron yang akan menemaniku. Cucu kita." Kate menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Mary tertawa pelan. "Benar, cucu kita, Kate. Setelah berpisah sekian lama, takdir kembali mempertemukan kita. Tuhan juga memberikan seorang cucu kepada kita."
"Kau benar, Mary. Aku tidak percaya rencana kita yang sempat tertunda dulu, sekarang terlaksana. Menjodohkan mereka berdua, anak-anak kita." Kate terkekeh.
"Apa kau ingin berkunjung ke makam Sean, Mary?" tanya Kate lagi.
Mary menatap mata cokelat gelap milik Kate beberapa saat.
"Sebaiknya jangan, Kate. Aku tidak ingin istri Sean melihatku ada di sini." Mary menundukkan kepala.
"Dia telah meninggal sepuluh tahun sebelum kepergian Sean, karena serangan jantung." Kate mengembuskan napas. "Apa kau masih tidak ingin mengunjunginya?"
Mary menjepit bibir, berpikir. "Baiklah. Kita akan pergi saat Lizzy bekerja, agar dia tidak curiga."
Kate menganggukkan kepala pelan.
"Mary?" panggil Kate.
"Hmmm?"
"Kenapa kau tidak katakan kepada Elizabeth yang sebenarnya? Siapa dia sebenarnya dan juga ayahnya? Aku rasa dia berhak tahu jati diri yang sebenarnya." Kate menocba membujuk Mary.
Mary menyandarkan tubuh ke belakang dan menengadahkan kepala. "Aku takut ia tidak diterima dengan baik oleh keluarga Eiden, Kate."
"Dari mana kau tahu dia tidak akan diterima dengan baik? Apa kau pernah bertemu dengan Ibu Sean sebelumnya?" pancing Kate.
Mary menggelengkan kepala lesu. "Aku belum pernah bertemu dengan Nyonya Jennifer, Kate. Aku bahkan tidak tahu bagaimana wajahnya."
"Kau tidak boleh berkata dia tidak akan diterima di sana, sebelum tahu bagaimana Nyonya Jennifer, Mary. Bagaimana jika Nyonya Jennifer mencari keberadaan cucunya saat ini?" Kate menaikkan sebelah alisnya.
"Itu tidak mungkin terjadi, Kate."
"Oh, Mary. Kenapa tidak mungkin? Sean sudah meninggal, dia pasti meninggalkan sesuatu, setidaknya sebuah wasiat yang akan diberikan kepada putrinya yang telah lama hilang. Itu mungkin saja terjadi, dear."
Mary terdiam beberapa saat.
Kate menepuk punggung tangan Mary. "Kau pikirkan dulu, Mary. Saranku sebaiknya Elizabeth tahu apa yang sebenarnya terjadi darimu sendiri."
Mary mengangkat kepala dan menatap mata Kate secara bergantian.
"Terima kasih, Kate. Kau tidak pernah berubah dari dulu, hingga sekarang. Kau selalu memperlakukanku dengan baik." Mary memberikan pelukan kepada Kate.
"Sure, dear. Kita hampir memiliki kisah hidup yang sama. Setidaknya aku lebih beruntung darimu sekarang ini." Kate menepuk pelan punggung Mary.
Kate memejamkan mata dan menghela napas berat, saat teringat masa lalunya.
"Yeah,dulu kau bilang aku lebih beruntung darimu. Tapi nyatanya sekarang kau yanglebih beruntung dariku," ucap Mary tersenyum pilu.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki yang Menghamiliku
RomansaHidupnya diselimuti misteri. Lahir tanpa sosok ayah. Dan saat dewasa, ia pun hamil tanpa tahu siapa yang menghamilinya. Hanya sedikit petunjuk yang ia tahu. Hingga berberapa bulan kemudian, ia bertemu dengan sosok lelaki yang mengingatkannya dengan...