"Bagaimana perasaanmu?"
Aku mengerjap. Samar-samar, aku melihat seorang wanita dengan rambut pirang berlutut disebelahku. Dan Ia mengusap dahiku begitu lembut.
Tunggu.
"I-Ibu?"
Dia tersenyum kecil. Aku langsung terduduk, memandangi Ibuku yang kini mengusap pipiku. Sial. Ini dimana? Kenapa semuanya putih?
"A-apa aku sudah mati?!" jeritku tertahan.
Ibu malah tertawa. Dia menggeleng pelan, "tidak. Umurmu masih panjang, sama seperti kakakmu."
Kakak. "Dimana Niall?!"
"Dia baik-baik saja. Dia sedang bersama Ayahmu."
Ayah! Aku menahan air mataku yang ingin tumpah. Apa maksudnya ini? Kalau aku dan Niall belum mati, jadi ini dimana?
"Dengar. Ibu ingin memberitahumu sesuatu."
Ibu duduk berhadapan denganku. Kini, aku dapat melihatnya dengan jelas. Setelah sekian lama tidak bertemu dengannya, kini aku dapat menemuinya. Walaupun tidak secara nyata. Karena kuyakin, ini hanyalah mimpi.
"Kau dan Niall benar-benar anak-anak yang benar-benar kuat. Kau dengar itu?" ujar Ibu. Aku memejamkan mataku saat tangannya yang lembut mengusap pipiku. "Ibu benar-benar bangga pada kalian berdua yang benar-benar mandiri. Ibu sangat bangga kepada Niall karena dia begitu menyayangimu. Dia selalu melindungimu bukan?"
"Ibu, dia benar-benar melindungiku. Bahkan aku kefikiran agar dia menjadi Ayahku saja sekalian."
Ucapanku membuat Ibu tertawa. Ia memelukku, membuatku terdiam. "Kau harus tahu, kalau Ibu dan Ayah menyesal karena telah meninggalkan dan membuat kalian berdua sengsara."
"Ibu, itu bukan salah kalian!" seruku tegas. Aku melepas pelukan Ibu dan memandangi wajahnya. "Sama sekali bukan."
Ibu tidak menyahut. Namun kini Ia menangkup kedua pipiku, "Ibu sudah tahu semuanya yang terjadi padamu dan Niall. Tentang Fransisca yang memberikanmu dua kemampuan sekaligus, tentang wanita itu yang menyamar menjadi pacar kakakmu, sampai tentang Greyson."
Aku menelan ludah. Aku ingin menangis karena teringat bahwa mulai saat ini, Greyson tidak akan mengingatku lagi. Apapun tentangku, tentang kami berdua. Dia akan menjadi orang asing bagiku, begitu pun sebaliknya.
"Nak," Ibu tersenyum hangat. "Kau tahu sendiri bukan? Cinta itu butuh pengorbanan. Kalau kau menginginkannya, kau perlu sabar dan tegar karena kau akan merasakan apa yang namanya kecewa."
Sial. Ucapan seorang Ibu memang selalu benar. Sayang sekali Ibu sudah pergi. Dan dia tidak akan kembali.
"Apa dia akan mengingatku lagi?"
"Tergantung padamu. Apakah kau mau mengejarnya, atau membiarkannya sampai dia menyadarinya sendiri."
Itu pilihan yang sulit. Aku tidak mungkin mengejarnya karena aku bukanlah seseorang yang seperti itu, walaupun aku sebenarnya memang mencintainya.
Tapi ... Membiarkan? Tidak ada kepastian kapan dia akan mengingatku lagi. Bahkan bisa saja, dia tidak akan pernah mengingatku.
Ini sulit.
"Hei."
Aku mendongak. Ibu tersenyum geli memandangiku yang menangis. Kenapa?
"Tak kusangka anakku sudah mengerti tentang cinta," tawa Ibu sambil mengacak-ngacak rambutku. Namun kemudian, Ia tersenyum hangat kepadaku. "Percayalah, Sayang. Kalau kalian memang ditakdirkan bersama, maka dia akan kembali padamu. Kau hanya perlu sabar dan tegar selama menunggu saat itu datang."
KAMU SEDANG MEMBACA
COUNTDOWN
Fanfiction"Magic is real. Trust me." Kalau kau mengira bahwa sihir hanya ada dalam dongeng dan film yang tak masuk akal, itu berarti kau salah. Sihir itu memang ada, dan tanpa sadar, hal tersebut mungkin sudah ada pada dirimu. Breanne Corby, seorang yatim pi...