Hubungan Rexton dan Anne baru berjalan beberapa bulan. Secara tidak sengaja bertemu dalam sebuah kecelakaan, mereka akhirnya dekat satu sama lain. Fiore yang lebih dulu mengenal Rexton, sebagai pelanggan minimarket. Mahasiswa pasca sarjana yang sangat rajin bekerja dan sering menggunakan meja minimarket untuk mengerjakan soal. Sampai suatu hari Rexton mengajak berkenalan dan saling sapa setiap kali bertemu.
Fiore terkesan saat tahu Rexton berkuliah di kampus yang sama dengannya. Dengan biaya yang tidak murah dan menanggung semua sendiri dari hasil bekerja.
"Siang aku jadi admin kantor, lumayanlah part time. Sore kuliah, dan malam sesekali jadi tukang antar makanan. Pokoknya apa saja aku lakukan untuk biaya hidup dan kuliah."
"Keren sekali, Rexton. Di kampus itu biayanya mahal."
"Kamu juga keren, dapat bea siswa di sana. Belajar yang rajin Fiore, biar dapat kerjaan yang bagus nanti kalau sudah sarjana."
"Semoga saja bisa."
"Ngomong-ngomong kamu ada rencana kerja di mana?"
Pertanyaan Rexton membuat Fiore menjawab tanpa pikir panjang karena tahu apa yang diinginkannya. "Di Genaro Group."
Rexton terdiam sesaat, terlihat sedikit terkejut. "Kenapa di sana? Posisi apa yang kamu inginkan?"
Kali ini pandangan Fiore sedikit menerawang saat menjawab. "Aku pernah mengantar barang ke gedung Genaro Group. Besar, luas, dan tinggi dengan para pegawainya tampil cantik serta elegan.Aku membayangkan diriku menjadi bagian dari mereka pasti akan keren sekali dan posisi yang aku inginkan adalah designer untuk produk mereka. Bukankah Genaro punya beragam produk? Designer marketing, apa pun itu pasti akan senang kalau bisa kerja di sana."
Penjabaran Fiore tentang Genaro Group membuat Rexton tersenyum. Memang di kota ini nama keluarga Genaro cukup terkenal sebagai salah satu keluarga konglomerat dengan banyak bisnis. Tiga generasi masih hidup dan sehat sampai saat ini membuat mereka terkenal bukan hanya kaya tapi juga pekerja keras dengan pola hidup yang sehat. Setidaknya itu yang terlihat dari luar, tanpa orang-orang tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya.
"Fiore, aku berdoa sungguh-sungguh semoga kamu bisa kerja di sana."
"Terima kasih doanya, Kak Rex."
Umur mereka terpaut tiga tahun tapi Rexton menolak kalau dipanggil 'kakak'. Tidak ingin terlihat tua hanya karena panggilan belaka. Fiore menurut, memanggil dengan nama dan menjadikan mereka lebih akrab. Sampai akhirnya Rexton mengenal Anne dan semuanya menjadi lebih renggang. Fiore sadar diri untuk menjaga jarak karena tidak ingin terlalu akrab dengan kekasih sahabatnya. Sampai akhirnya malam ini ia melihat laki-laki yang disukainya mabuk karena patah hati.
"Apa yang kurang dari aku, coba katakan Fiore? Selama ini dia minta apa saja aku turuti. Saat orang tuanya berulang tahun pernikahan, aku juga yang membiayai pesta. Kamu pasti ingat itu bukan?"
Fiore menganggguk, mengingat tentang pesta yang diadakan Anne dengan uang dari Rexton. "Tentu saja."
"Bukan aku ingin mengungkit-ungkit semua kebaikan, tapi setidaknya Anne tahu kalau cintaku tulus. Ternyata dia sama sekali tidak peduli dengan ketulusan itu. Menganggap perasaanku hanya sekedar permainan belaka. Bagaimana bisa dia tidur dengan laki-laki lain? Saat bersama, aku selalu menjaganya, tidak ingin menodainya sebelum kami menikah dan dia menjual diri sendiri."
Mengambil tisu, Fiore membersihkan meja dari sisa-sisa bir yang tumpah. Mengamati Rexton yang menelungkup di atas meja. Jemarinya gatal ingin merapikan rambut kecoklatan yang tebal itu. Ia tidak tega melihatnya menderita karena cinta tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain hanya menjadi pendengar yang baik. Teringat akan ancaman Anne yang melarangnya bicara dengan Rexton tentang Ardan. Fiore menyimpan sendiri rahasia busuk sahabatnya tapi ternyata Tuhan punya jalan lain. Anne membuka sendiri boroknya tanpa ia ikut campur.
