Anne terantuk ban mobil saat turun dari kendaraan. Sedikit pusing karena terlalu banyak minum bir. Ia sangat marah pada Ardan yang menolak membawanya ke pesta, padahal ia sudah berjanji akan bersikap baik dan tidak akan membuat masalah. Jawaban yang diterimanya membuat marah.
"Memangnya kamu ngerti apa soal bisnis? Pertemuan ini hanya khusus orang-orang yang punya jaringan bisnis luas dan berkuasa. Anne kamu bukan siapa-siapa, tidak seharusnya ingin ikut."
"Aku pacarmu, Ardan!"
"Hanya pacar dan bukan siapa-siapa. Diam saja kamu kalau masih ingin bersamaku. Jangan banyak menuntut atau—"
"Atau apa? Memutuskanku? Tidak semudah itu kamu memutuskanku. Jangan mengancamku, Ardan!"
Setelah itu mereka kembali berdebat dengan seru, Ardan mengamuk, Anne tidak kalah marah. Meski akhirnya kalah berdebat, menangis dan meraung, Ardan tetap tidak mengajaknya pergi. Dalam keadaan kesal memutuskan untuk mabuk bersama teman-temannya dan sekarang pulang dalam keadaan sedikit oleng. Masuk ke ruang tamu ia mengeluh karena sang mama belum tidur. Perempuan yang melahirkannya itu berbaring malas di kursi ruang tengah, menonton tayangan film lawas di televisi.
"Ma, belum tidur?"
Antari terbangun dari tidur ayam, melambaikan tangan pada anak sulungnya. "Kemari kamu, mama mau ngomong penting."
Anne mendesah, duduk di sebelah sang mama. "Kenapa, Ma? Aku ngantuk."
Mengernyit dan mengendus tubuh anaknya, Antari memukul bahu Anne dengan keras. "Kamu mabuk?"
"Hanya minum bir dikit. Nggak sampai mabuk."
"Masih berani nyetir? Gila kamu, ya? Mau setor nyawa ke malaikat maut?"
"Maa, ada apa, sih? Aku capek, stop dulu ceramahnya."
Antari berdecak tidak puas menatap anak perempuannya. Menggeleng perlahan untuk mengusir rasa marah. Ia meraba leher, mencopot kalung dan menunjukkan ke depan Anne.
"Kamu ingat kalung ini bukan?"
Anne menatap kalung emas dengan liontin batu putih. "Berlian pemberian Rexton?"
"Benar, mama nggak pernah periksa grade berapa berlian di kalung ini. Rexton bilang harganya cuma lima jutaan. Mama simpan terus di lemari karena malu pakainya, maklum berlian murah. Tadi nggak sengaja mama nemu kotaknya dan ternyata ada sertifikatnya. Kamu tahu berapa harga aslinya?"
"Tiga juga?" tebak Anne.
"Salah, dua puluh lima juta!"
Anne melongo kaget. "Mama serius? Salah baca kali."
Antari menggeleng. "Nggak, mama udah chek ke tokonya langsung. Ada cabangnya di dekat sini dan mereka konfirmasi harga sebenarnya. Anne, Rexton ngasih mama berlian harga dua puluh lima juga dan bilang harganya cuma lima juta. Padahal dia cuma pengantar makanan biasa. Kalau berlian colongan atau apa, nggak mungkin ngasih sama sertifikat. Toko juga mengecek keaslian sertifikatnya. Anne, siapa sebenarnya Rexton? Nggak mungkin kalau cuma pengantar makanan mampu membeli berlian semahal ini?"
Meraih berlian di tangan sang mama, Anne mengamati dengan lekat. Berlian ini diberikan sebagai hadiah ulang tahun sang mama. Saat itu Rexton bahkan mentraktir makan malam. Belum lagi hadiah lain yang diberikan untuk adiknya, sang papa dan juga dirinya. Ia teringat akan gelang emas yang diberikan Rexton dan berniat mengecek keasliannya. Tadinya ia berpikir kalau barang-barang yang diberikan Rexton adalah palsu, tapi ternyata dugaannya salah.
"Arlogi yang diberikan untuk papamu juga nggak murah, harganya belasan juta. Anak itu, siapa dia sebenarnya Anne?"
Anne menggeleng, mengembalikan kalung berlian pada sang mama. Ardan bahkan tidak menberikannya hadiah sebesar ini, hanya membelikan tas dengan harga di bawah sepuluh juta saja. Meskipun mengajak makan malam di restoran mewah tapi perhatiannya jauh dari yang diberikan Rexton untuknya.