Bab 18

651 158 6
                                    

Anne mengisap rokok di kafe kampus yang sepi. Ada dua teman lain yang sama-sama merokok. Mereka mengobrol sepulang kuliah karena Anne malas kalau langsung pulang ke rumah. Sang mama cerewet, bertanya terus menerus soal Rexton. Karena pemuda itu tidak pernah muncul lagi di rumah. Biasanya selalu membeli semua hal yang diinginkan keluarganya. Dari mulai kebutuhan pokok untuk keluarga sampai cemilan untuk adik-adiknya. Keluarga Anne bukan orang susah, tapi tetap saja senang kalau ada yang memberi apalagi gratis.

"Rexton itu baik loh. Tiap Minggu bawa beras, minyak, malahan kemarin ngasih adik kamu baju olah raga yang mahal pula. Mana ada pacarmu yang kayak Rexton? Biarpun kamu bilang pacarmu orang kaya, bawa mobil, tetap aja nggak ngasih kita apa-apa. Rexton itu beda, saat ulang tahun mama malah bawa kita ke restoran tempat dia kerja. Traktir kita satu keluarga. Hebat bukan?"

Sebenarnya Anne tahu alasan Rexton berbuat baik padanya dan keluarga bukan murni cinta tapi ada hal lain. Sebuah alasan personal yang ia simpan sendiri. Tidak boleh afda yang tahu, siapa pun itu. Dengan alasan itu pula ia mengikat Rexton di sisinya. Sayangnya ia terjebak dengan peson Ardan yang lebih populer dan terlihat kaya dari pada Rexton.

Secara kepribadian san sifat, Rexton memang jauh lebih baik dari Ardan. Tapi tdak bisa menmberikan Anne kesenangan. Rexton berbeda dengan Ardan yang sering mengajaknya ke bar, kafe, meskipun dengan embel-embel sex. Menjadi pacar Rexton adalah ketenangan, sedangkan pacar Ardan adalah kesenangan. Sialnya ia sekarang cemburu pada Fiore yang mendekati mantan kekasihnya.

"Gembel miskin kurang ajar!" maki Anne tanpa sadar. Menyugar rambut, mengambil parfum untuk menyemprot pakaiannya agar tidak bau rokok.

"Kenapa ngamuk-ngamuk? Siapa yang gembel?" Teman Anne, laki-laki melambai bernama Toni yang lebih suka dipanggil Tence, bertanya sambil mengisap rokok. "Temen lo itu?"

Anne mengangkat bahu. "Siapa lagi? Temen gue yang gembel cuma dia. Mana sekarang sok keren, sombong bukan kepalang, sialan!"

Satu teman lagi, si cewek berambut pirang tertawa lirih. Entah apa yang lucu, mengerling pada Anne dengan ekpresi meremehkan.

"Udah gue bilang dulu, ngapain bergaul sama gembel. Lo, sih, sok baik. Mentang-mentang dia pintar, suka bantuin bikin tugas, lo jadiin temen. Eh, bukan sekedar temenn tapi sahabat. Gue mah ogah! Orang gembel suka nyusahin."

"Susi bener, orang miskin emang suka bikin sakit kepala." Tence menyahut cepat. "Ada tuh bibi dari saudara ibu gue yang miskin. Minta-minta duit melulu buat biaya sekolah anak. Lakinya cuma pegawai rendahan. Gue kasihan sama ibu gue, akhirnya gue suruh tuh anaknya bibi, cewek umur lima belas buat jual diri. Mayan duitnya buat bantu keluarga dari pada nyusahin terus."

Anne menggeleng tak percaya pada Tence. "Otak lo rada-rada geser!"

"Biarin, makanya gue bilang jangan sok baik sama orang miskin!"

Susi lagi-lagi tertawa, padahal yang dibicarakan dua temannya masalah serius. Sepertinya masalah terbesar Susi adalah tidak bisa menahan tawa. Anne sering kali kesal. Tapi gimana pun itu sifat sahabatnya. Sulit juga diubah.

"Setelah nggak ada gue, Si Gembel itu nggak punya teman lain. Kemana-mana sendiri."

Susi mendesah, berusaha untuk menghentikan tawanya. "Lo salah soal itu. Si Fiore kemana-mana sama mantan lo. Gue lihat sendiri tadi siang Fiore dijemput dari kampus, palingan diantar ke minimarket. Padahal jaraknya nggak jauh, bisa jalan kaki."

"Nggak bohong lo?" sergah Anne.

"Kagak, buat apa bohong. Tence juga lihat'kan?"

Tence mengangguk. "Gue salfok sama mantan lo yang makin lama makin cakep. Coba kalau nggak ada si miskin itu, gue sendiri yang caplok mantan lo!"

Killing Me SoftlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang