Bab 6

992 181 9
                                        

Rexton mengamati gadis yang berbaring di ranjang rumah sakit dengan wajah lebam dan tubuh luka-luka. Ia tidak tahu apa yang membuat Fiore bertahan tinggal bersama orang-orang kejam itu. Gadis muda yang hidupnya habis untuk bekerja kini terkapar tidak berdaya karena luka-luka. Apakah dunia memang begitu kejam untuk Fiore? Rexton tidak pernah mendengarnya mengeluh, selalu bersikap ceria, optimis, dan menginginkan yang terbaik untuk adiknya. Entah berapa lama lagi gadis ini akan bertahan jika berada dalam penderitaan terus menerus.

Mengamati UGD yang ramai, pikiran Rexton kembali ke beberapa bulan silam. Mengalami kecelakaan yang cukup parah dan seorang gadis menyelamatkannya. Bukan sekedar menyelamatkan dengan cara membawa ke rumah sakit tapi juga memberikan darah untuknya. Ia jatuh cinta dengan sikap baik gadis itu, sayangnya dikhinati begitu saja. Tidak mengerti apa yang diinginkan Anne selain cinta yang tulus. Sepertinya memang Anne menyukai harta dan kemewahan. Rexton sempat berpikir untuk membuka jati dirinya pada gadis itu tapi menahannya. Tidak layak mengorbankan apa yang sedang diusahakannya hanya untuk orang yang tidak menginginkannya.

Selama beberapa bulan belakangan ia memang hidup di luar rumah, selain untuk melanjutkan pendidikan juga ingin bekerja layaknya orang biasa. Paman dan sepupunya sering kali mengatakan kalau dirinya terlalu dimanja dan tidak bisa melakukan apa pun. Belum lagi keraguan para pemegang saham, dewan direksi, dan mereka yang menganggapnya tidak becus bekerja. Tanpa kata untuk membalas, ia justru ingin membuktikan kemampuannya. Tidak ada yang tahu apa yang sudah dilakukannya selama setahun belakangan kecuali sang kakak dan suaminya. Ia menyimpan semuanya sendiri dan tidak ada niat mengungkapkan jati diri, setidaknya sekarang ini. Menunggu hingga satu jam, Fiore akhirnya bergerak perlahan.

"Fiore, kamu sadar juga."

Fiore mengerjap, menatap Rexton yang menatapnya kuatir. Ia berusaha untuk bangun dengan kepala berdenyut nyeri. "Aku di mana?" tanyanya dengan suara perlahan, mengedarkan pandangan ke sekeliling yang ramai.

"Di UGD, jangan duduk dulu. Nanti kamu pusing. Mau minum?"

Fiore membiarkan Rexton membantunya minum. Menyesap air mineral perlahan ia berusaha mengingat-ingat bagaimana bisa ada di tempat ini. Terakhir kali Diorna memukulinya dengan helm dan setelah itu tidak ingat apa pun.

"Bagaimana Rariz, aku harus pulang lihat dia."

"Ups, tahaaan. Kamu harus duduk atau dokter akan marah."

Rexton menahan bahu Fiore dengan lembut, menyeka wajahnya yang keringatan dengan tisu. "Adikmu baik-baik saja, aku udah tanya sama pemilik warung."

Fiore mengerjap bingung. "Kamu kenal pemilik warung?"

"Yaa, baru tadi."

"Kalau gitu kamu ke rumah susun?"

Rexton mengangguk. "Kamu lupa, kita ada janji makan bersama dan saat kamu nggak datang aku berinisitif mencari. Ternyata perempuan itu memukulimu hingga seperti ini. Kenapa kamu nggal lapor polisi, Fiore? Kenapa membiarkan kekejam macam ini menimpamu?"

Rexton bukan pertama kali bertanya hal ini, Fiore sudah sering mendengar pertanyaan itu. Masalahnya adalah tidak semudah itu melapor polisi, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan.

"Keluarga yang dimiliki oleh Fariz hanya aku dan Diorna. Kalau sampai Diorna dipenjara, anak itu pasti sedih sekali. Lagi pula, kamu tahu sendiri proses hukum berbelik-belit, aku nggak mau kehilangan Fariz. Takutnya bertikai di polisi malah membuat anak itu masuk departemen sosial. Aku nggak mau begitu."

"Kamu mikir terlalu berlebihan."

"Emang, karena nggak mau kehilangan."

"Rela menjadi samsak?"

Killing Me SoftlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang