"Kenapa kepengenan ayang nggak lo turutin aja sih, Ga?" Kei bertanya serius memecah senyap. "Lo jadi resah gitu. Ngeguling kesana-sini. Rusuh. Bikin gue nggak bisa tidur, tauk!"
Entah berapa banyak yang Kei dengar tentang perdebatanku dengan Linkan di kamar tadi. Yang pasti kunyuk somplak itu diam-diam meledekku lewat pandangan mata saat kami bertiga makan unatoto di ruang santai depan televisi. Setidaknya aku sedikit berterima kasih karena Kei tidak terang-terangan menunjukkan sisi gila di depan karyawan bapaknya.
Aku diam tak menjawab. Pikiranku melayang kemana-mana. Mataku belum juga terpejam sejak berbaring beralas futon tebal di lantai kamar Kei lima belas menit lalu. Hanya helaan napas panjangku yang bolak-balik terdengar. Lebih setahun lalu, aku juga nebeng di kamar ini saat Khawla dan Binar menginap di Tokyo. Kali ini aku kembali ngungsi ke kamar Kei karena Linkan tidur di kamarku.
"Gue lihat dia udah jauh membaik dibandingkan sepulang dari rumah sakit. Lo ajak makan di Ginza juga nggak akan menghabiskan separuh energinya. Deket banget. Hangat lagi di dalam mal, nggak akan terpapar udara dingin. Walau sebentar dia juga pasti udah seneng."
Aku masih diam tak hendak membantah. Karena faktanya, kondisi Linkan memang terlihat semakin membaik. Namun, ada hal lain yang membuatku tidak akan membiarkan Linkan keluyuran terpapar suhu dingin Tokyo saat ini.
"Gue belum cerita sama lo, Kei." Aku menahan rendah suara agar tidak terdengar bergetar. Untung kami berdua sama-sama suka tidur dengan lampu dimatikan, sehingga perubahan raut mukaku tidak akan terbaca. "Kemarin gue takut banget Linkan ... lewat."
"Heh?" Suara Kei terdengar kaget. "Meninggal maksud lo?"
"Iya." Mataku mengerjap cepat menghalau kabut. Mungkin sekarang perasaanku terdengar konyol, tapi kemarin hal itu terasa sangat masuk akal saat menemukan Linkan merintih menahan sakit dengan bunyi napas yang terdengar horor di telingaku. Sepertinya aku harus jujur bercerita pada Kei agar beban di dadaku sedikit ringan. Apalagi selama ini Kei satu-satunya pendengar terbaikku, dan sebaliknya. "Perjalanan menuju rumah sakit bagi gue terasa lama dan jauh, seperti bertahun-tahun padahal cuma sepuluh menit sampai. Gue mikir apa yang bakal terjadi kalau dia meninggal di dalam taksi, di pangkuan gue. Apa gue bisa bertahan hidup tanpa dia, Kei?"
Hening. Pertanyaan retorisku tak ditanggapi Kei. Dengan sabar ia membiarkanku terus mengoceh.
"Menakutkan banget liat dia lemah kayak gitu. Scariest moment in my life. Rasanya kayak mau mati saja. Mau gue tolongin, tapi nggak tahu caranya. Gue juga nggak sabar kalau harus nunggu ambulance datang makanya kenapa milih cepet-cepet ngantar Linkan pakai taksi. Gue nggak bisa ngapa-ngapain, Kei. That was out of my control, dan lo tau gue benci itu. Akhirnya gue cuma bisa berdoa doang, minta dengan tulus agar Linkan selamat. Gue masih pengen menata masa depan dengan benar bersama dia. Itu sebabnya gue jadi over protective. Gue paham banget Linkan doyan jalan, apalagi ke mal. Tapi gue nggak mau dia ngedrop kecapean lagi, sekali aja cukup. Kejadian kemarin jadi pembelajaran buat gue agar lebih hati-hati ngajak dia jalan."
Kei menungguku melanjutkan. Karena aku diam saja, dia lalu berujar menganalisa, "Lo juga udah do your best dengan cepet bawa dia ke rumah sakit, kok. Dan kenyataannya sekarang Mbak Linkan udah baik-baik saja. Udah berlalu tuh scariest moment in your life-nya. Kayaknya lo kemarin terlalu takut hingga berpikir kejauhan. Wajar, sih. Mungkin karena lo belum pernah liat sendiri saat dia terkena serangan asma jadinya panik banget."
"Hmm ... mungkin." Kei benar. Mungkin aku terlalu panik hingga over thinking.
Senyap kembali datang. Semburat cahaya dari luar yang masuk lewat celah horizontal blind di kamar Kei membuatku melihat siluet tubuh besarnya tiba-tiba terbangun dari pembaringan, seperti ada hal penting yang harus ditanyakan segera. Aku melirik kilau sepasang mata yang menatapku penasaran. "Trus sekarang lo udah nembak dia lagi, Ga?"
"Belum." Aku mendesah enggan. Topik ini jelas tak ingin aku bahas sekarang. Meski dengan Kei sekalipun. Segera kumiringkan badan memunggungi Kei agar dia tidak lanjut mencecar. "Udah. Tidur, Kei!"
Namun tampaknya Kei tidak ingin menyerah untuk mengorek informasi lebih lanjut. "Kenapa, woooy?"
"Waktunya belum tepat."
"Trus kapan tepatnya?"
"Hmmm ...."
"Nggak akan pernah ada waktu yang tepat kalau tidak dimulai, Ga. Lu sendiri yang pernah bilang kalau cewek itu butuh kepastian." Kali ini Kei yang menasehatiku. Makin pinter dia sejak menikah, udah nggak bego lagi. "Inget, kan?"
"Iya, Pak Keivaro. Nanti. Kalau saatnya tiba."
"Keburu Linkan dicolong cowok lain tau rasa, lo!"
"Nggak akan!"
"Keburu joni lo keriput nggak berfungsi."
"Gelo!"
°•○🌸🌸🌸🌸🌸🌸🍁🌸🌸🌸🌸🌸🌸○•°
-----------------------------------------------------------
Thanks udah baca, vote, dan comment.
Kalian keren🌷
30.06.2024
__________________A___________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Anomaly [ON GOING] - Seri: Love Will Find a Way (2)
RomanceNagata memilih pergi sambil meniupi egonya yang terluka. Meski tak mudah, setidaknya jauh membuat Nagata semakin memahami jika ia tak boleh menyerah pada garis hidup. Nagata berusaha mencari cinta lain. Yang sama sekali berbeda dari cinta milik Lin...